Seorang ranger - polisi hutan yang merangkap sebagai pemandu - sudah menunggu di gerbang bertuliskan Welcome to Komodo National Park (Loh Buaya), tangannya memegang sebuah tongkat kayu dengan ujung bercabang. Saya dijelaskan, cabang di ujung kayu ini berfungsi untuk ‘mencekik’ leher komodo bila hewan reptil itu menyerang tiba-tiba. Kami dipandu menuju perkampungan ranger melewati tebing-tebing batu dan padang lumpur yang ditanami bibit pohon bakau.
Sepanjang jalan sang ranger tak henti-hentinya berkata bahwa mereka tak menjanjikan komodo-komodo itu muncul. Karena bintang ini datang dan pergi semau mereka. Dulu pasukan komodo yang berjumlah sekitar 1500 ekor ini memang sering diberi umpan berupa kambing untuk keperluan wisata, ternyata hal ini malah membuat komodo malas berburu. Beberapa tahun lalu, pemberian umpan dihentikan agar ‘kebuasan’ binatang purba ini tetap terjaga. Saat lapar mereka akan berburu rusa, babi hutan, kerbau liar, bahkan… manusia.
Jujur saja, kata-kata sang ranger itu sempat membuat kami kecil hati. Sudah jauh-jauh
datang, masa tidak melihat komodo? Namun, saat memasuki perkampungan, tiba-tiba sang ranger mengangkat tongkatnya. Kami semua berdiri terpaku. Ah, akhirnya kami ketemu juga dengan komodo, di habitat aslinya pula!
Tampak seekor komodo bergerak pelan, lalu berhenti di bawah sebuah pohon. Takjub! Rasanya sulit percaya binatang reptil berkulit tebal bersisik dengan cakar kakinya yang hitam, panjang, dan tajam ini masih eksis di zaman internet ini. Kepalanya terangkat. Lidahnya menjulur-julur seperti ular. Panjang dari kepala hingga ekornya sekitar 2,5 meter – yang ternyata masih termasuk ukuran kecil. Kami semua langsung mengeluarkan kamera, sementara beberapa ranger sibuk ‘menjaga jarak’ antara komodo dengan kami yang sibuk mengambil foto binatang purba itu.
Beberapa komodo lain tampak bermalas-malasan di bawah sebuah rumah panggung terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai dapur, tentunya bau masakan mengundang mereka datang. Di sini pintu dan jendela rumah panggung tidak boleh dibiarkan terbuka, karena Komodo bisa memanjat naik.
Konon, ada seorang peneliti asing digigit seekor anak komodo yang masuk melalui jendela. Keesokan harinya si peneliti langsung dilarikan ke rumah sakit di Labuhanbajo, karena mengalami infeksi parah akibat bakteri yang dihasilkan air liur anak komodo itu. Itu baru digigit anaknya, bayangkan kalau digigit bapaknya atau ibunya! Langsung gemetarlah saya, apalagi setelah mengetahui bahwa komodo dewasa tidak pernah meninggalkan sisa dari buruannya, termasuk tulang belulang, semua habis tak berbekas.
Saat pembayaran retribusi, ditawarkan 3 trek perjalanan melintas pulau, short, medium, dan long track. Mengingat hari sudah menjelang sore, kami memilih medium track. Mematuhi ‘perintah’ ranger, rombongan kami yang berjumlah 21 orang berjalan teratur, tetap dalam kelompok, dan berusaha tidak melangkah keluar jalur melintasi padang savana yang sangat luas menuju bukit. Jantung saya berdebar, rasanya seperti berada di lokasi film Jurrasic Park.
Sementara kami berjalan terengah-engah diterpa terik matahari sore menapaki jalur berbatu dan rumput serta semak berduri, dua orang ranger yang mengawal rombongan tetap waspada walau tak satu pun komodo tampak berkeliaran. Malah yang tampak adalah seekor kerbau liar yang sedang berendam santai dalam kubangan lumpur.
Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit untuk sampai ke puncak bukit. Hilang sudah rasa lelah saat memandang teluk tempat kapal kami berlabuh dan birunya laut di antara impitan pulau-pulau. Pemandangan yang membikin kami terlena, lupa diri, santai-santai duduk bahkan berguling-guling di rumput, sehingga ranger kembali mengingatkan agar kami tetap waspada. Komodo bisa berada di mana saja, di atas bukit, di semak-semak, bahkan menyaru dengan bebatuan.
Menjelang gelap, kami sudah kembali ke dermaga. Ketakutan saya bakal kelaparan di kapal pun tak terbukti. Saat kami naik ke kapal, sudah tersedia pisang goreng dan teh manis. Untuk makan malam, chef kapal menyediakan bihun goreng, cumi bumbu pecal, ikan bawal saus mentega, tahu goring lengkap dengan sambal lalap, kerupuk, buah pencuci mulut, serta tak lupa jus jeruk dan jus avokad. Waduh! Kalau tiap kali makan menunya sedahsyat ini, dijamin berat badan kami melonjak drastis.
Ini juga merupakan pengalaman pertama saya tidur di atas kapal. Bayangan akan tersiksa atau mabuk laut karena terayun-ayun gelombang, sirna sudah. Air laut tenang tak berombak, sampai-sampai suara ikan yang melompat di air terdengar jelas.
Di sekeliling kapal pemandangan hitam pekat, kecuali air yang memantulkan cahaya jutaan bintang di langit. Selama ini bintang sebanyak itu hanya saya lihat di langit-langit
planetarium Jakarta, dan ternyata itu pun belum apa-apa di banding yang saya saksikan ini. Makin malam langit justru makin terang dan berwarna-warni oleh cahaya bintang dan puluhan meteor yang saling melintas.
Terry Endropoetro