Dengan desain split level, rumah bisa memiliki lebih banyak ruang. Minimnya barang juga membuat ruangan dalam rumah terasa luas.
Sebuah pohon yang menjulang tinggi menyambut kami saat berkunjung ke rumah Fatimah Maria Tadjoedin dan Muhammad Ihsan Rizal di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. “Itu pohon Ketapang Kencana. Saya suka karena dahannya berjarak-jarak,” ujar Ihsan. Pohon itu ditanam selama proses pembangunan rumah, sehingga ketika rumah siap huni, ia sudah menjulang tinggi, menambah asri halaman depan.
Keterbatasan lahan membuat Ihsan dan Fatimah harus mengakali agar rumah tetap hijau. Di bagian belakang, mereka menanam Lee Kuan Yeuw atau Janda Merana (Vernonia elliptica), tanaman juntai yang bisa menutupi seluruh dinding di belakang rumah. Arsitek rumah ini juga menyiapkan keran khusus, sehingga air dapat mengalir langsung dari atas dan menyirami tanaman tanpa merepotkan pemilik. Ada pula besi-besi yang menyatukan tumpukan pipa tanaman. Rangkaian itu dibuat kokoh, untuk memudahkan seseorang menaikinya, jika perbaikan tanaman dibutuhkan.
“Kebetulan, arsitek rumah ini kakak ipar sendiri. Namanya Heru Agung. Jadi, lebih mudah untuk membicarakan keinginan kami,” jelas Fatimah. Saat Fatimah menyampaikan keinginan memiliki rumah dengan banyak kamar, Heru menyarankan desain dengan konsep split level. Konsep itu memungkinkan setiap lantai disisipi ruang, sehingga rumah yang hanya dua lantai bisa seolah memiliki empat lantai.
Dengan luas tanah 170 meter persegi, luas bangunan menjadi 250 meter persegi. Rumah itu memiliki empat kamar tidur dan tiga kamar mandi, ditambah satu kamar plus satu kamar mandi ART. Empat kamar tidur itu terbagi menjadi satu kamar utama, satu kamar tamu, dan dua kamar anak—yang semula diperuntukkan bagi Hugo dan Enzo, dua anak lelaki mereka. “Pada akhirnya mereka tidur berdua di satu kamar, dan kamar satunya diubah menjadi ruang bermain,” ujar Fatimah.
Ihsan dan Fatimah memang membiasakan anak-anak bermain di rumah. Untuk mewujudkan hal itu, selain melarang penggunaan gadget kecuali di akhir pekan, mereka mengisi ruang dengan banyak mainan, salah satunya Lego. “Mereka aktif banget, bergerak melulu. Saya ingin mereka tetap bebas bergerak tetapi tidak meninggalkan rumah,” ungkap Fatimah.
Di rooftop rumah, Fatimah juga merancang sebuah pojok baca dengan tempat duduk yang empuk. Ia ingin Kenzo dan Hugo nyaman saat membaca ditemani pemandangan yang luas. Hal menarik lain saya temukan ketika melangkah ke ruang tengah. Di langit-langit, terpampang berbagai kutipan inspiratif dari tokoh terkenal. “Anak-anak kalau di ruang tengah suka tidur-tiduran. Saat mata mereka melihat ke atas, mereka akan melihat kata-kata yang baik,” jelas Fatimah.
Satu lagi kesan yang muncul saat berkunjung ke rumah ini adalah kesan lapang. Hal itu rupanya efek dari minimnya barang yang mengisi ruang. Untuk interior seperti meja di sudut ruang tengah, lemari dan kursi di ruang tamu, serta partisi, Fatimah memesan khusus dari Jepara. “Kebetulan ada teman yang berkunjung ke Jepara, jadi saya menitipkan desain agar bisa dibuatkan dan dikirim ke rumah ini,” cerita Fatimah.
Kehadiran bata exposed memberi kesan natural dan menyeimbangkan kekosongan dinding di sudut lain yang dibiarkan putih polos. “Kami tidak suka memajang foto keluarga di dinding karena harus sering foto dan sering diganti,” canda Fatimah. Mereka lebih bermain dengan jenis lampu untuk memberi kesan dramatis pada ruang.
“Sewaktu membangun teras belakang, arsiteknya membuat gantungan yang dibeton ke atap teras. Katanya bisa digunakan untuk apa saja. Akhirnya, saya menemukan kursi ayunan dari Jepara,” begitu cerita Fatimah, soal kursi ayunan yang menghadap ke tanaman juntai dan taman kecil. Taman asri itu memiliki connecting door menuju rumah orang tua mereka, yang letaknya bersebelahan. Saya dan tim sangat nyaman duduk lesehan di lantai parket di teras itu, hingga tak terasa senja datang mengingatkan kami untuk berpamitan dan kembali lain waktu.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah Visual: Erin Metasari