Confucius pernah berkata, “Pilihlah pekerjaan yang Anda sukai, maka seumur hidup Anda tidak bekerja.” Begitulah yang dirasakan Theresia selama 25 tahun bekerja di kantornya. Ia menyukai pekerjaannya, penghasilannya lebih dari lumayan, dan jalan kariernya pun cukup mulus, sampai akhirnya ia menduduki jabatan sebagai manajer departemen.
Untuk sekian lama ia cukup puas dengan jabatan tersebut. Apakah ia mentok di ‘langit-langit kaca’ karena sudah 5 tahun pada posisi yang sama, tidak dipersoalkannya. Lagipula, kalaupun ia mendapat tanggungjawab yang lebih tinggi lagi, mungkin akan sulit baginya ‘main sulap’ dengan tanggungjawabnya yang lain, sebagai istri dan ibu dari tiga remaja.
Tapi akhir-akhir ini, Theresia mulai merasa tidak puas. Sejak perusahaan diperluas, pekerjaan jadi tumpang tindih, tanggungjawab bertambah berat, jam kerja semakin panjang. Di sisi lain, suasana kekeluargaan yang dulu dialaminya di kantor, kini semakin ‘langka’. Bawahannya, beberapa di antaranya anak-anak muda lulusan luar negeri, kelihatan sangat ambisius. Yang seorang bahkan terang-terangan mengincar posisinya. Theresia merasa gerah. Setelah menimbang masak-masak, dia memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama setahun, dengan risiko dipindahkan ke departemen lain.
“Wanita segenerasi aku sudah cukup lama berkorban,” ujarnya. “Selain bekerja di kantor, kamilah yang dianggap wajib mencemaskan anak-anak, pasangan, orang tua. Kadang-kadang rasanya kewalahan. Kami butuh cuti panjang. Kalau perlu, sekalian berhenti kerja.”
“Wanita segenerasi aku sudah cukup lama berkorban,” ujarnya. “Selain bekerja di kantor, kamilah yang dianggap wajib mencemaskan anak-anak, pasangan, orang tua. Kadang-kadang rasanya kewalahan. Kami butuh cuti panjang. Kalau perlu, sekalian berhenti kerja.”
Cuti? mana sempat?
Dalam bukunya Time Off for Good Behavior, Mary Lou Quinland, mantan CEO sebuah perusahaan periklanan di New York, menulis tentang para wanita yang --seperti dirinya dan Theresia-- merasa jenuh bekerja, tidak puas, dan bertanya-tanya dalam hati: “Setelah ini, apa?”
Para wanita responden Quinland tidak menyalahkan perusahaan tempat mereka bekerja atau para atasan, atas stres yang mereka alami. Mereka menyalahkan diri sendiri karena mau-maunya bekerja melampaui batas dan hampir tidak pernah mengambil cuti. Seringkali, sekalipun sadar mereka butuh istirahat, mereka selalu mengatakan, “mana sempat?” Seakan-akan bagi mereka hanya ada dua pilihan: kerja keras atau tidak sama sekali. Tidak ada jalan tengah.