Menurut Harry Purnama, praktisi dan trainer WLB dari Mature Leadership Center, Work-Life Balance (WLB) memang relatif baru di Indonesia. Di Amerika saja, yang sudah lama mengenal dan menerapkan konsep ini, angka kepuasan karyawan masih belum maksimal.
Dilansir dari situs haygroup.com, hasil survey Hay Group Insight's tahun 2012, menunjukkan 27% karyawan yang tidak mendapatkan dukungan WLB dari perusahaan tempat mereka bekerja, berniat untuk mengundurkan diri dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun. Padahal data ini diambil dari 17% total jumlah karyawan di berbagai perusahaan yang berada di jaringan teratas dalam hal pemberian dukungan WLB.
Menurut Harry, mau tak mau WLB memang menjadi urusan bersama antara karyawan dan perusahaan. Di salah satu sisi, jika karyawan merasa happy karena bisa memenuhi tanggung jawab di rumah, maka ia akan lebih bersemangat kerja sehingga produktivitas akan meningkat, angka turn over pun menurun. Penelitian Hay Group menunjukkan, jika sebuah perusahaan di Amerika yang memiliki karyawan sebanyak 10.000 orang dan tingkat turn over diturunkan hingga 10%, perusahaan tersebut akan menghemat biaya sebesar 17,5 juta dolar AS atau sekitar Rp 170 miliar.
Menurut Jill Geisler, penulis buku Work Happy: What Great Bosses Know, bekerja dengan jadwal yang fleksibel membuat karyawan lebih bersemangat kerja, meskipun pemantauan tetap dijalankan berdasarkan target masing-masing. Ada beberapa alternatif, mulai dari bekerja paruh waktu, cuti di luar tanggungan, atau bekerja di rumah (telecommuting). Alternatif terakhir ini tampaknya kian banyak diminati dan menjadi tren pekerja era digital. Dilansir dari situ PortalHR, data dari Inc.com menunjukkan di tahun 2005 pekerja telecommuting hanya mencapai 1,5 juta orang, sementara di tahun 2011 meningkat 60% menjadi 2,4 juta pekerja.
Hasil survey Korn/Ferry International (perusahaan konsultan HRD) di Amerika Serikat tahun 2012, hampir 80% responden mengatakan perusahaan mereka mengizinkan karyawannya untuk bekerja di rumah; 94% responden meyakini bekerja di rumah adalah pilihan penting untuk para orang tua bekerja, dan 80% wanita bekerja percaya jika mereka bekerja di rumah, hidup mereka akan lebih seimbang. Bahkan hasil survei dari The Information Technology Association of America tahun 2005 menyebutkan 36% responden merasa lebih bahagia jika bisa bekerja jarak jauh dan memilih benefit ini daripada kenaikan gaji.
Tidak hanya bagi karyawan, perusahaan pun diuntungkan dengan sistem kerja di rumah ini. Beberapa perusahaan high tech seperti Cisco dan IBM berpendapat bahwa para telecommuter ini juga mampu menurunkan turn over karyawan, meningkatkan efisiensi perusahaan, dan menaikkan nilai jual merek di bursa pencari kerja sebagai 'employers of choice'.
Diperkirakan kebutuhan WLB dalam beberapa tahun ke depan akan meningkat, terutama di kalangan pekerja generasi milineal, yang masih lajang atau baru memulai membina keluarga, dan lebih techno aging boomer (generasi baby boomer yang sudah menua), yang kontribusinya masih dibutuhkan di dunia kerja.
Jadi pada intinya, menurut Harry, WLB adalah masalah yang perlu dipecahkan bersama antara karyawan dan perusahaan. Tinggal bagaimana mengatur mekanismenya dalam kebijakan perusahaan, sehingga ditemukan win-win solution.
Dilansir dari situs haygroup.com, hasil survey Hay Group Insight's tahun 2012, menunjukkan 27% karyawan yang tidak mendapatkan dukungan WLB dari perusahaan tempat mereka bekerja, berniat untuk mengundurkan diri dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun. Padahal data ini diambil dari 17% total jumlah karyawan di berbagai perusahaan yang berada di jaringan teratas dalam hal pemberian dukungan WLB.
Menurut Harry, mau tak mau WLB memang menjadi urusan bersama antara karyawan dan perusahaan. Di salah satu sisi, jika karyawan merasa happy karena bisa memenuhi tanggung jawab di rumah, maka ia akan lebih bersemangat kerja sehingga produktivitas akan meningkat, angka turn over pun menurun. Penelitian Hay Group menunjukkan, jika sebuah perusahaan di Amerika yang memiliki karyawan sebanyak 10.000 orang dan tingkat turn over diturunkan hingga 10%, perusahaan tersebut akan menghemat biaya sebesar 17,5 juta dolar AS atau sekitar Rp 170 miliar.
Menurut Jill Geisler, penulis buku Work Happy: What Great Bosses Know, bekerja dengan jadwal yang fleksibel membuat karyawan lebih bersemangat kerja, meskipun pemantauan tetap dijalankan berdasarkan target masing-masing. Ada beberapa alternatif, mulai dari bekerja paruh waktu, cuti di luar tanggungan, atau bekerja di rumah (telecommuting). Alternatif terakhir ini tampaknya kian banyak diminati dan menjadi tren pekerja era digital. Dilansir dari situ PortalHR, data dari Inc.com menunjukkan di tahun 2005 pekerja telecommuting hanya mencapai 1,5 juta orang, sementara di tahun 2011 meningkat 60% menjadi 2,4 juta pekerja.
Hasil survey Korn/Ferry International (perusahaan konsultan HRD) di Amerika Serikat tahun 2012, hampir 80% responden mengatakan perusahaan mereka mengizinkan karyawannya untuk bekerja di rumah; 94% responden meyakini bekerja di rumah adalah pilihan penting untuk para orang tua bekerja, dan 80% wanita bekerja percaya jika mereka bekerja di rumah, hidup mereka akan lebih seimbang. Bahkan hasil survei dari The Information Technology Association of America tahun 2005 menyebutkan 36% responden merasa lebih bahagia jika bisa bekerja jarak jauh dan memilih benefit ini daripada kenaikan gaji.
Tidak hanya bagi karyawan, perusahaan pun diuntungkan dengan sistem kerja di rumah ini. Beberapa perusahaan high tech seperti Cisco dan IBM berpendapat bahwa para telecommuter ini juga mampu menurunkan turn over karyawan, meningkatkan efisiensi perusahaan, dan menaikkan nilai jual merek di bursa pencari kerja sebagai 'employers of choice'.
Diperkirakan kebutuhan WLB dalam beberapa tahun ke depan akan meningkat, terutama di kalangan pekerja generasi milineal, yang masih lajang atau baru memulai membina keluarga, dan lebih techno aging boomer (generasi baby boomer yang sudah menua), yang kontribusinya masih dibutuhkan di dunia kerja.
Jadi pada intinya, menurut Harry, WLB adalah masalah yang perlu dipecahkan bersama antara karyawan dan perusahaan. Tinggal bagaimana mengatur mekanismenya dalam kebijakan perusahaan, sehingga ditemukan win-win solution.
Shinta Kusuma