Mary Lou Quinlan, CEO perusahaan konsultansi marketing di Amerika Serikat dan penulis buku, juga seorang wanita bekerja ‘sampai ke tulang sumsum’. Sejak masih kecil ia terbiasa menjadwal aktivitasnya, seperti menggambar dulu, baru tidur siang. Ketika remaja ia gemar mencari penghasilan sendiri sebagai baby sitter dan mencari upah dobel dengan menjaga dua anak sekaligus. Setelah dewasa ia gemar mengumpulkan sertifikat dengan menghadiri seminar atau workshop.
Tentu ia tidak sendirian. Di negerinya maupun di seluruh dunia, generasinya (juga generasi Anda) adalah generasi pertama wanita bekerja. Anda begitu terikat dengan pekerjaan -- dan diam-diam sering merasa bangga, bahwa Anda bukan ‘sekadar’ ibu rumah tangga --sehingga rasanya Anda ‘bukan siapa-siapa’ kecuali memiliki ruang atau kubikel sendiri dan nomor ekstension telepon di salah satu kantor di segitiga emas Jakarta.
Suatu kali Quinlan merasa penasaran, bagaimana jadinya kalau wanita seperti Anda menghadapi krisis di rumah –perceraian, anak yang sakit parah, anggota keluarga yang meninggal. Apakah kita spontan melepaskan tanggungjawab di kantor dan berpaling pada keluarga? Untuk menjawab pertanyaan ini ia mengadakan survei yang melibatkan ribuan wanita. Ternyata, lebih banyak yang menjawab tidak.
Tentu ia tidak sendirian. Di negerinya maupun di seluruh dunia, generasinya (juga generasi Anda) adalah generasi pertama wanita bekerja. Anda begitu terikat dengan pekerjaan -- dan diam-diam sering merasa bangga, bahwa Anda bukan ‘sekadar’ ibu rumah tangga --sehingga rasanya Anda ‘bukan siapa-siapa’ kecuali memiliki ruang atau kubikel sendiri dan nomor ekstension telepon di salah satu kantor di segitiga emas Jakarta.
Suatu kali Quinlan merasa penasaran, bagaimana jadinya kalau wanita seperti Anda menghadapi krisis di rumah –perceraian, anak yang sakit parah, anggota keluarga yang meninggal. Apakah kita spontan melepaskan tanggungjawab di kantor dan berpaling pada keluarga? Untuk menjawab pertanyaan ini ia mengadakan survei yang melibatkan ribuan wanita. Ternyata, lebih banyak yang menjawab tidak.
Kisah Anissa berikut ini membuktikan mujarabnya pekerjaan. Anak kedua Anissa, Lita, dilahirkan dengan penyakit bawaan yang sulit disembuhkan. Setelah beberapa bulan diam di rumah merawat si bayi dan meratapi nasib, Anissa kembali ke pekerjaannya sebagai editor di penerbitan buku. “Di kantor, aku menjadi Anissa yang lama, bukan ibu yang dari hari ke hari senewen menghadapi situasi hidup-mati.”
Lita meninggal sebelum usianya genap tiga tahun. Anissa bisa menerima keadaan ini dengan besar hati. Namun anak pertamanya, Dani, sangat kehilangan adiknya. Anissa sukar menjelaskan dan menghiburnya dengan kata-kata. Lalu bersama-sama seorang ilustrator, serta dibantu rekannya seorang psikolog anak, Anissa mengarang sebuah buku cerita tentang anak yang kehilangan saudara kandungnya. Dalam proses mengarang ini, Anissa seperti menemukan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Dani. Dan, ketika buku itu akhirnya beredar, Dani sudah lebih mampu memahami situasi yang dia hadapi.