Anak-anak sudah menikah, deposito di bank lumayan memadai untuk menutupi ongkos hidup sehari-hari. Ketika kejenuhan di tempat kerja sudah sampai di ubun-ubun, Laila pun
memutuskan: cukuplah sudah! Pensiun dini tampaknya lebih menyenangkan. Tapi ia tak mau tinggal diam. Ia ingin mewujudkan impiannya sejak muda, menjadi penulis. Dalam seketika, dari seorang pimpinan sebuah perusahaan periklanan, Laila pun menjadi ‘pengacara' (pengangguran banyak acara).
Minggu-minggu pertama, Laila menikmati the luxury of time, kemewahan yang selama ini tidak pernah dinikmatinya karena selalu berupaya meniti tangga karier. Kini, setiap hari ia bisa bangun siang sesuka hati, lalu sarapan berdua suami, bersama-sama merencanakan menu makan siang, membaca buku, menonton VCD. Setelah makan siang ia naik ke bekas kamar anak sulungnya yang telah disulapnya menjadi ‘kantor’. Lalu ia duduk di depan komputer selama beberapa jam. Dari outline buku yang telah dirancangnya, ia mulai menulis awal dari bab pertama novelnya.
Tapi baru sampai ke minggu ketiga, ia sudah merindukan rutinitas lamanya di kantor. Ia gemas melihat pesawat telepon yang membisu. Berkali-kali ia melirik kalender untuk mengecek tanggal hari ini. Apakah timnya sudah menyelesaikan proyek iklan yang mereka tangani. Ia membuka e-mail dan merasa aneh, inbox-nya selalu kosong. Dan, ketika tiba tanggal 26, dia otomatis menelepon bank langganannya untuk mengecek, apakah gaji bulan ini sudah masuk ke rekeningnya.
Begitu tersadar akan ‘kelinglungannya’, Laila menyadari bahwa diam-diam dia merindukan
hidupnya yang dulu. Hidup yang terstruktur dan membuatnya merasa aman dengan gaji tetap. Hampir saja ia tidak bisa menahan diri untuk mengangkat telepon, minta dipertimbangkan untuk bekerja kembali. Atau melamar di kantor lain yang pernah berkali-kali bermaksud ‘membajaknya’.