Mengutip buku Brandmate yang ditulis Amalia E.Maulana, banyak orang lupa bahwa dirinya adalah sebuah brand yang penting untuk dibangun, dibina, dan dikembangkan. “Sebagai pimpinan tertinggi dari ‘Me Inc.’, Andalah yang harus menentukan arah citra personal branding,” kata Brand Consultant & Ethnographer dari Etnomark Consulting itu.
Ibarat sebuah produk di pasaran, ada produk yang dipilih dan tidak dipilih. Begitu pula dalam personal branding, ada “orang yang diharapkan dan orang yang tidak diharapkan”. Semua tergantung pada kita. Apakah mau dikenal sebagai brand yang tepat waktu, negosiator ulung, rekan yang koperatif, atau sebagai negosiator ulung sekaligus well organized.
Untuk memiliki personal branding, perlu strategi tertentu agar kita menjadi brand yang cemerlang. Semakin dinilai cemerlang dan menyenangkan oleh audience atau stakeholders (“pemakai jasa” kita), semakin kuat brand yang kita miliki. Amalia menjelaskan, stakeholders atau audience ini berasal dari segmen yang berbeda-beda, tergantung pada posisi kita. Bisa dari atasan, rekan kerja, anak buah, atau klien kita.
Menurut Amalia, ada tiga karakteristik yang harus dimiliki untuk menjadi personal brand yang cemerlang yaitu:
1. Relevan, artinya memahami kondisi terbaru tentang audience kita.
Manusia dan lingkungan sosial terus berubah sifat dan gaya hidupnya. Kita pun harus ikut menyesuaikan dengan perubahan ini. Jangan sampai, tawaran personal brand kita tidak sesuai dengan kondisi audience terkini. Semakin dinamis kita, maka akan dinilai semakin baik dan akan menumbuhkan rasa percaya dari orang lain.
2. Konsisten dalam mempertahankan kualitas diri kita.
Ini adalah poin yang berat, tapi seseorang yang konsisten akan selalu menjadi top of mind orang lain bahkan para petinggi di kantor kita, misalnya ketika hendak menentukan promosi jabatan.
3. Otentik.
Ingatlah praktik copy paste personal branding orang lain tidak akan berhasil. Menggali hal-hal positif, kompetensi diri dan keunikan dalam diri kita justru menjadikan diri kita terlihat genuine. Salah satu caranya adalah mencari sisi unik dan keunggulan dalam diri kita yang tidak dimiliki orang lain. Hal ini harus terus diasah dan dikembangkan supaya personal brand kita makin cemerlang.
Jadi kuncinya, kata Amalia, kita harus memahami kebutuhan para audience agar brand kita semakin menonjol. Kita pun akan senang dan ingat pada produk yang bisa memahami kebutuhan kita. Setelah memetakan kebutuhan audience dan mengetahui ‘segmen’ kita, langkah selanjutnya adalah melakukan perencanaan. Luangkan waktu untuk membangun dan mengembangkan personal brand Anda. Buatlah prioritas dari daftar audience kita yang harus segera dipenuhi kebutuhannya dan sangat menentukan penilaian kinerja kita. Karena tentunya kita tidak mampu (dan perlu) menyenangkan semua orang.
Yang terakhir, tingkatkan kompetensi kita. Semakin tinggi kompetensi yang kita miliki, semakin tinggi pula posisi tawar kita di kantor. Karena itu, ketika kita sudah mencapai jabatan tinggi, bukan berarti kita berhenti melakukan personal branding. “Kita perlu selalu mengevaluasi dan mendefinisikan kembali atau repositioning personal branding yang kita miliki,” kata Amalia. Sebab, ketika jabatan seseorang meningkat, kompetensi dari ‘paket’ yang ditawarkan seharusnya juga bertambah. Amalia menegaskan, seseorang yang selalu menyisihkan waktu dan pikiran untuk mendefinisikan kembali personal branding yang ia punya, biasanya akan lebih terlihat menonjol.
Jika kita memiliki personal branding yang baik, kita akan lebih banyak dikenal dan selalu berada dalam top of mind di kalangan petinggi atau klien. Plus, nama kita akan lebih cepat dideteksi oleh para head hunter. Hal ini tentu akan lebih menguntungkan bagi pengembangan karier kita.
Ibarat sebuah produk di pasaran, ada produk yang dipilih dan tidak dipilih. Begitu pula dalam personal branding, ada “orang yang diharapkan dan orang yang tidak diharapkan”. Semua tergantung pada kita. Apakah mau dikenal sebagai brand yang tepat waktu, negosiator ulung, rekan yang koperatif, atau sebagai negosiator ulung sekaligus well organized.
Untuk memiliki personal branding, perlu strategi tertentu agar kita menjadi brand yang cemerlang. Semakin dinilai cemerlang dan menyenangkan oleh audience atau stakeholders (“pemakai jasa” kita), semakin kuat brand yang kita miliki. Amalia menjelaskan, stakeholders atau audience ini berasal dari segmen yang berbeda-beda, tergantung pada posisi kita. Bisa dari atasan, rekan kerja, anak buah, atau klien kita.
Menurut Amalia, ada tiga karakteristik yang harus dimiliki untuk menjadi personal brand yang cemerlang yaitu:
1. Relevan, artinya memahami kondisi terbaru tentang audience kita.
Manusia dan lingkungan sosial terus berubah sifat dan gaya hidupnya. Kita pun harus ikut menyesuaikan dengan perubahan ini. Jangan sampai, tawaran personal brand kita tidak sesuai dengan kondisi audience terkini. Semakin dinamis kita, maka akan dinilai semakin baik dan akan menumbuhkan rasa percaya dari orang lain.
2. Konsisten dalam mempertahankan kualitas diri kita.
Ini adalah poin yang berat, tapi seseorang yang konsisten akan selalu menjadi top of mind orang lain bahkan para petinggi di kantor kita, misalnya ketika hendak menentukan promosi jabatan.
3. Otentik.
Ingatlah praktik copy paste personal branding orang lain tidak akan berhasil. Menggali hal-hal positif, kompetensi diri dan keunikan dalam diri kita justru menjadikan diri kita terlihat genuine. Salah satu caranya adalah mencari sisi unik dan keunggulan dalam diri kita yang tidak dimiliki orang lain. Hal ini harus terus diasah dan dikembangkan supaya personal brand kita makin cemerlang.
Jadi kuncinya, kata Amalia, kita harus memahami kebutuhan para audience agar brand kita semakin menonjol. Kita pun akan senang dan ingat pada produk yang bisa memahami kebutuhan kita. Setelah memetakan kebutuhan audience dan mengetahui ‘segmen’ kita, langkah selanjutnya adalah melakukan perencanaan. Luangkan waktu untuk membangun dan mengembangkan personal brand Anda. Buatlah prioritas dari daftar audience kita yang harus segera dipenuhi kebutuhannya dan sangat menentukan penilaian kinerja kita. Karena tentunya kita tidak mampu (dan perlu) menyenangkan semua orang.
Yang terakhir, tingkatkan kompetensi kita. Semakin tinggi kompetensi yang kita miliki, semakin tinggi pula posisi tawar kita di kantor. Karena itu, ketika kita sudah mencapai jabatan tinggi, bukan berarti kita berhenti melakukan personal branding. “Kita perlu selalu mengevaluasi dan mendefinisikan kembali atau repositioning personal branding yang kita miliki,” kata Amalia. Sebab, ketika jabatan seseorang meningkat, kompetensi dari ‘paket’ yang ditawarkan seharusnya juga bertambah. Amalia menegaskan, seseorang yang selalu menyisihkan waktu dan pikiran untuk mendefinisikan kembali personal branding yang ia punya, biasanya akan lebih terlihat menonjol.
Jika kita memiliki personal branding yang baik, kita akan lebih banyak dikenal dan selalu berada dalam top of mind di kalangan petinggi atau klien. Plus, nama kita akan lebih cepat dideteksi oleh para head hunter. Hal ini tentu akan lebih menguntungkan bagi pengembangan karier kita.
Monika Erika