Lynette dalam serial Desperate Housewives terpaksa meninggalkan kariernya setelah ia menikah dan memiliki anak (empat!). Padahal sebelumnya, ia wanita karier yang cerdas, cekatan, dan sangat mencintai pekerjaannya. Ketika suaminya mentok dalam karier, mereka memutuskan bertukar peran; suami di rumah mengurus anak-anak, istri bekerja. Betapa bahagia Lynette ketika ia bisa kembali ke ‘habitatnya’. Tapi bahagiakah suaminya? Bahagiakah pasangan itu seterusnya? Tentu tergantung pada penulis skenario serial TV beken ini.
Bagaimana dalam kehidupan nyata? Bagi wanita, bisakah kebahagiaan dalam rumah tangga dan sukses berkarier berjalan seiring? Ya dan tidak. Sebagian wanita beruntung mendapat suami yang mendukung karier mereka, sebagian lagi justru menikahi seorang … penghalang karier.
“Suamiku, pendukung karierku”
Di antara yang beruntung, adalah Anissa yang menikah dengan Yoyok, ketika mereka mulai merintis karier di bidang perhumasan. “Bukannya melakukan ritual pacaran seperti makan malam romantis dan jalan-jalan berduaan di pantai, dia memberiku ‘buket’ berupa saran-saran karier. Kencan-kencan kami yang dibumbui dengan pengenalan diri sekaligus ‘pelajaran’ di bidang bisnis, akhirnya disahkan dengan perjanjian nikah yang sudah berjalan 27 tahun,” cerita Anissa yang dalam usia kepala 5 sekarang mengepalai sebuah biro rekrutmen yang cukup berhasil di Jakarta.
Anissa merasa beruntung berjodoh dengan pria yang selalu mendukung kariernya dan memberi semangat padanya dalam masa-masa senang maupun susah. Dia ingat ketika menjadi korban intrik di kantornya, dia ingin berhenti kerja. Tapi Yoyok menyuruhnya bersabar karena yakin tak lama lagi kebenaran akan terungkap. Ternyata benar, Anissa berhasil memenangkan kepercayaan atasannya, pesaingnya diberhentikan secara tidak hormat. Lain waktu, ketika terbuka peluang kerja yang lebih baik, atas saran Yoyok, Anissa pindah kerja dan mendapat posisi yang lebih baik. “Karierku berkembang karena suamiku memberiku sayap,” kata Anissa.
“Dia menghambat jalanku”
Lain halnya dengan Santi. Saat menikah, ia bekerja di bagian keuangan kantornya, dan suaminya bekerja di perusahaan lain sebagai staf marketing. Dua anak mereka lahir dalam waktu empat tahun. Setelah pasangan ini memutuskan tidak menambah anak, Santi menyatakan ingin melanjutkan kuliah akuntansi yang tertunda karena menikah. Tapi suaminya berkeberatan. Alasannya beragam, yang paling berat adalah soal pengasuhan anak-anak mereka.
“Dia tahu aku ingin sekali melanjutkan kuliah, tapi dia melarang. Maka aku hanya mengikuti beberapa kursus singkat. Saat itu aku sendiri agak minder soal kemampuanku. Dengan berbagai cara dia membuatku berpikir, bahwa aku tidak mungkin bisa melakukan semuanya sekaligus: bekerja, mengurus rumah tangga, dan kuliah. Padahal untuk urusan rumah tangga, ibuku siap membantu,” ujar Santi.
Santi kemudian pindah kerja di suatu perusahaan, yang sangat menghargai kemampuannya di bidang akuntansi. Mengetahui bahwa dia pernah kuliah dan masih sangat ingin melanjutkan kuliahnya, perusahaan itu bersedia mengongkosi kuliah malam baginya. “Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Santi. “Saat itu suamiku sedang ke luar kota. Begitu dia pulang, aku sudah selesai mendaftarkan diri dan mengurus persyaratan lainnya. Saat itu aku tahu, dalam hal-hal tertentu aku tidak perlu minta izin dia.”
Dalam waktu dua tahun, Santi menamatkan kuliahnya. Kariernya pun ikut terdongkrak hingga tak lama kemudian ia menduduki jabatan direktur bagian keuangan. Sayangnya, tahun-tahun gemilang dalam kuliah dan kariernya itu tidak diimbangi dengan kebahagiaan dalam rumah tangga. Sudah pada dasarnya tidak ingin Santi maju, ditambah lagi dengan perasaan tersaingi, suaminya makin lama sering uring-uringan menghadapi perubahan ini. Akibatnya, pertengkaran yang sambung-menyambung membuat mereka memutuskan untuk bercerai.
Beberapa tahun kemudian Santi menikah lagi dengan seorang wirausahawan yang 100% mendukung kariernya. “Setiap pagi, dengan penuh semangat aku berangkat ke kantor. Sorenya aku akan pulang untuk berbagi cerita dengan suamiku tanpa merasa ada yang harus ditutup-tutupi. Aku tak perlu berdalih apa-apa untuk menjaga perasaannya,” kata Santi.
Bagaimana dalam kehidupan nyata? Bagi wanita, bisakah kebahagiaan dalam rumah tangga dan sukses berkarier berjalan seiring? Ya dan tidak. Sebagian wanita beruntung mendapat suami yang mendukung karier mereka, sebagian lagi justru menikahi seorang … penghalang karier.
“Suamiku, pendukung karierku”
Di antara yang beruntung, adalah Anissa yang menikah dengan Yoyok, ketika mereka mulai merintis karier di bidang perhumasan. “Bukannya melakukan ritual pacaran seperti makan malam romantis dan jalan-jalan berduaan di pantai, dia memberiku ‘buket’ berupa saran-saran karier. Kencan-kencan kami yang dibumbui dengan pengenalan diri sekaligus ‘pelajaran’ di bidang bisnis, akhirnya disahkan dengan perjanjian nikah yang sudah berjalan 27 tahun,” cerita Anissa yang dalam usia kepala 5 sekarang mengepalai sebuah biro rekrutmen yang cukup berhasil di Jakarta.
Anissa merasa beruntung berjodoh dengan pria yang selalu mendukung kariernya dan memberi semangat padanya dalam masa-masa senang maupun susah. Dia ingat ketika menjadi korban intrik di kantornya, dia ingin berhenti kerja. Tapi Yoyok menyuruhnya bersabar karena yakin tak lama lagi kebenaran akan terungkap. Ternyata benar, Anissa berhasil memenangkan kepercayaan atasannya, pesaingnya diberhentikan secara tidak hormat. Lain waktu, ketika terbuka peluang kerja yang lebih baik, atas saran Yoyok, Anissa pindah kerja dan mendapat posisi yang lebih baik. “Karierku berkembang karena suamiku memberiku sayap,” kata Anissa.
“Dia menghambat jalanku”
Lain halnya dengan Santi. Saat menikah, ia bekerja di bagian keuangan kantornya, dan suaminya bekerja di perusahaan lain sebagai staf marketing. Dua anak mereka lahir dalam waktu empat tahun. Setelah pasangan ini memutuskan tidak menambah anak, Santi menyatakan ingin melanjutkan kuliah akuntansi yang tertunda karena menikah. Tapi suaminya berkeberatan. Alasannya beragam, yang paling berat adalah soal pengasuhan anak-anak mereka.
“Dia tahu aku ingin sekali melanjutkan kuliah, tapi dia melarang. Maka aku hanya mengikuti beberapa kursus singkat. Saat itu aku sendiri agak minder soal kemampuanku. Dengan berbagai cara dia membuatku berpikir, bahwa aku tidak mungkin bisa melakukan semuanya sekaligus: bekerja, mengurus rumah tangga, dan kuliah. Padahal untuk urusan rumah tangga, ibuku siap membantu,” ujar Santi.
Santi kemudian pindah kerja di suatu perusahaan, yang sangat menghargai kemampuannya di bidang akuntansi. Mengetahui bahwa dia pernah kuliah dan masih sangat ingin melanjutkan kuliahnya, perusahaan itu bersedia mengongkosi kuliah malam baginya. “Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Santi. “Saat itu suamiku sedang ke luar kota. Begitu dia pulang, aku sudah selesai mendaftarkan diri dan mengurus persyaratan lainnya. Saat itu aku tahu, dalam hal-hal tertentu aku tidak perlu minta izin dia.”
Dalam waktu dua tahun, Santi menamatkan kuliahnya. Kariernya pun ikut terdongkrak hingga tak lama kemudian ia menduduki jabatan direktur bagian keuangan. Sayangnya, tahun-tahun gemilang dalam kuliah dan kariernya itu tidak diimbangi dengan kebahagiaan dalam rumah tangga. Sudah pada dasarnya tidak ingin Santi maju, ditambah lagi dengan perasaan tersaingi, suaminya makin lama sering uring-uringan menghadapi perubahan ini. Akibatnya, pertengkaran yang sambung-menyambung membuat mereka memutuskan untuk bercerai.
Beberapa tahun kemudian Santi menikah lagi dengan seorang wirausahawan yang 100% mendukung kariernya. “Setiap pagi, dengan penuh semangat aku berangkat ke kantor. Sorenya aku akan pulang untuk berbagi cerita dengan suamiku tanpa merasa ada yang harus ditutup-tutupi. Aku tak perlu berdalih apa-apa untuk menjaga perasaannya,” kata Santi.