Di saat kebutuhan untuk menjalankan program pendidikan masyarakat semakin tinggi, Esthi dihadapkan pada dilema. Sejak awal rubrik bertajuk Hotline yang dikelolanya itu memang dibangun tanpa dukungan modal uang yang besar. Esthi harus melakukan sesuatu untuk bisa menyelamatkan rubrik tersebut. Maka pada 1992, ia meminta izin untuk mengubah Hotline menjadi sebuah yayasan. Esthi pun berhasil memperoleh dana program outreach dari Kedutaan Australia, dan pada tahun 2000, Yayasan Hotline resmi melepaskan diri dari Harian Surya.
Bahagia jadi aktivis
Sekalipun sepak terjangnya sebagai pegiat AIDS di kalangan pekerja seks menuaibanyak tantangan, kaki Esthi sudah telanjur basah. Apalagi jika melihat epidemik HIV/AIDS di Indonesia yang terus meningkat. Ia memberi ilustrasi, di tahun 1997 terdapat 198 orang terinfeksi virus HIV, dan dalam kurun 10 tahun, angka ini melonjak menjadi 8.988 orang. “Bisa jadi di tahun 2025, jika tidak ada intervensi lebih lanjut, angka penderita bisa mencapai 2,5 juta jiwa,” ujar Esthi. ”Memang hanya orang ‘gila’ yang mau melakukan pekerjaan ini. Tapi tanpa ‘orang gila’ seperti saya ini, kasusnya akan bertambah banyak,” tukas lajang 53 tahun itu.
Meskipun korban berjatuhan sudah banyak, namun tetap tak mudah untuk mengampanyekan pencegahan HIV/AIDS. Esthi mengakui betapa kerasnya kehidupan yang dilaluinya sebagai seorang aktivis. Kecaman adalah ‘makanan’-nya sehari-hari biasa. Masih banyak yang beranggapan bahwa penyakit AIDS merupakan persoalan pelacur atau orang-orang tak bermoral. Mereka masih menyampuradukkan antara norma agama, budaya, dan nilai luhur dengan perilaku. Padahal ini hal yang berbeda,” tegas
Esthi.
Sejak saat itu, ia memulai gerakan dengan program baru, yakni konseling. Dengan begitu ia berhadapan langsung dengan penderita. Meski awalnya mengaku agak ngeri karena takut ketularan, lambat laun ia justru bisa menikmati dan mendapatkan banyak pelajaran hidup dari para pekerja seks tersebut. Selanjutnya ia melakukan pendekatan ke
pemerintah. ”Saya terus berkampanye agar pemerintah bisa mengegolkan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur. Syukurlah, Perda itu berhasil dibuat. Saya pun lebih enak dalam bekerja,” kisahnya. Padahal tadinya ia sudah bertekad ingin mundur dari dunia aktivis yang sangat melelahkan itu.