Bermula dari seorang guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) dan redaktur rubrik konsultasi keluarga di salah satu surat kabar, ia lantas mendedikasikan diri sebagai pegiat HIV/AIDS di kalangan pekerja seks selama 23 tahun terakhir.
Guru Idealis
Tak banyak orang yang mau menyerahkan segenap jiwa raganya untuk orang lain jika bukan karena panggilan hati nurani. Esthi Susanti Hudiono adalah salah satunya. Secara kasat mata, perempuan kelahiran Salatiga ini terkesan sangat sederhana, tutur katanya pun lembut. Tetapi siapa sangka di dalam dadanya tersimpan jiwa pemberontak. Ia berani memilih jalan hidup yang tidak umum dilakukan perempuan dari generasinya.
Sarjana pendidikan lulusan Universitas Satya Wacana, Salatiga, ini memulai karier sebagai guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) di sebuah SMA swasta elit di Surabaya. Misinya idealis, ingin membentuk generasi muda yang lebih humanis, terutama di kalangan anak-anak berada.
”Dulu orangtua saya pernah bertanya, kenapa mau menjadi guru dan digaji kecil,” kenangnya. Maklum, orang tuanya berasal dari keluarga pedagang. “Saya jawab, selain ingin mengejar idealisme, saya juga ingin mencari suami dari kalangan guru,” kenangnya sambil tersenyum.
Nyatanya dunia pendidikan tak sesuai dengan impiannya. Setelah 6 tahun menangani berbagai masalah siswa, ia justru merasa kecewa. ”Rasanya saya kok, hanya berfungsi sebagai penghibur, bukan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya. Padahal semestinya sistem di sekolah lebih mengajarkan character building.”
Tidak puas dengan kondisi tersebut, Esthi memutuskan mundur dari dunia pendidikan. Ia pindah haluan ke bidang jurnalistik. Minat menulisnya sudah muncul sejak ia masih bekerja sebagai guru BP. Kebetulan harian SURYA saat itu membutuhkan redaktur untuk mengasuh rubrik ‘Keluarga Sejahtera’ yang juga membawahi rubrik konsultasi Hotline. Esthi ditunjuk langsung oleh Valens Doy (mantan wartawan senior harian Kompas) yang ikut membidani kelahiran Harian Surya. Rubrik tersebut dibuat karena kurangnya ruang pemberitaan beraspek pendidikan dan informasi di harian tersebut. Di luar dugaan, setiap harinya Esthi menampung curhat lewat ribuan surat maupun penelepon yang kebanyakan wanita dan remaja. Masalah yang paling sering ditanyakan berkisar pada asmara dan seksualitas. Ia dan timnya juga sempat mendapat tugas untuk mengampanyekan penggunaan kondom kepada para pekerja seks di Surabaya.
Pada masa itu pula ia berkenalan dengan Dede Oetomo, aktivis HIV/AIDS dan pendiri organisasi GAYa NUSANTARA. Pertemuan itu makin membukakan mata Esthi padamasalah AIDS yang diprediksi oleh Dede bakal menjadi masalah besar di negeri ini. Itulah awal komitmen Esthi pada penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di Surabaya, Jawa Timur, dan seluruh Indonesia.
(bersambung)
Shinta Kusuma