Menurut Alviko Ibnugroho, financologist dan penulis buku Pensiun: Ketika Keputusan Menjadi Keberkahan, dalam memilih bidang untuk karier lanjutan setelah berhenti atau pensiun dari pekerjaan saat ini (atau biasa disebut dengan ‘karier kedua’), orang biasanya lebih mengutamakan kepuasan batin dibandingkan kepuasan material. Artinya, akan lebih tepat jika Anda memilih pekerjaan yang sesuai dengan passion dan sekaligus Anda kuasai dengan baik.
Setiap kali mendengar kalimat ‘membuka bisnis sendiri’, banyak orang keliru menafsirkannya. Yang langsung terpikir adalah membuka toko atau kantor sendiri. Padahal, dengan jam terbang dan kompetensi yang Anda miliki dari pekerjaan sebelumnya, Anda bisa saja menjadi konsultan atau tenaga lepas profesional yang bisa bebas berkantor di mana saja dan memilih tawaran pekerjaan dari mana saja.
Selain itu, orang juga sering salah kaprah bila bicara soal modal usaha. Mereka selalu mengasosiasikan modal dengan uang, dalam jumlah besar pula. Akibatnya, kalau merasa tidak punya uang cukup banyak, Anda pun tidak berani memulai usaha. Di saat Anda memutuskan untuk memulai karier kedua, disadari atau tidak Anda sebenarnya sudah memiliki modal yang kuat di tangan. ‘Modal’ yang dimaksud di sini adalah kemampuan, pengalaman, dan jejaring bisnis yang Anda miliki. Ketiganya sangat dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha. Sayangnya, tidak semua orang –sekalipun yang sudah terbilang mapan– menyadari dan merasa yakin akan 'modal' yang mereka miliki tersebut.
Dalam memilih karier kedua, Alviko menyarankan sebaiknya kita tidak mengambil keputusan secara emosional semata, karena biasanya tidak akan langgeng lantaran tidak memiliki pondasi yang kuat. Pilihan karier kedua itu menjadi sulit dinikmati atau kurang dijalani secara optimal, sehingga Anda akan mudah tergoda untuk beralih ke bidang lain lagi. Disarankan pula agar Anda tidak asal memilih profesi/bidang sebagai karier kedua. Mengingat usia yang tidak lagi muda, maka bukan waktunya lagi untuk sekadar coba-coba.
Karena itu, sebelum mengambil keputusan, ada baiknya Anda melakukan introspeksi diri. Idealnya, menurut Alviko, agar meraih sukses di karier kedua, Anda juga tetap bisa bekerja di jalur yang sejalan dengan pengalaman, keterampilan, dan kompetensi yang dibentuk dari karier pertama Anda. Selain sudah teruji waktu, ‘nilai jual’ Anda di pasaran pun akan lebih tinggi.
Contohnya Belinda Gunawan. Setelah pensiun sebagai Managing Editor di sebuah majalah lifestyle terkemuka, ia memilih menjadi penerjemah dan penulis lepas. Secara garis besar, jenis pekerjaannya sama. Hanya bedanya, kalau dulu di kantor, ia mengedit tulisan para reporter, sekarang ia mendapat pesanan dari berbagai majalah untuk menulis atau menerjemahkan artkel atau buku –karena ia juga fasih berbahasa Inggris. Asyiknya, selain bisa bekerja lebih leluasa di rumah, ia juga mendapat honor yang lumayan besar untuk setiap tulisan atau karya terjemahannya.
Liesna Shaw lain lagi. Setelah pensiun dini sebagai dosen seni rupa di sebuah universitas swasta bergengsi, pemilik gelar Master Fine Art ini mengajar kelas melukis untuk anak balita hingga remaja di bilangan Kemang, Jakarta, sejak 5 tahun silam. Ia sengaja memilih bidang yang tak jauh dari latar belakang ilmu dan pengalamannya salama ini, karena sadar betul itulah passion-nya. “Jujur saja, saya tidak terlalu suka bekerja kantoran dan saya sangat senang mengajar anak-anak. Dengan membuka bisnis ini, saya bisa membantu anak-anak berkreasi sekaligus menyalurkan hobi melukis saya,” ujar ibu 4 anak yang juga sering dipanggil untuk mengajar melukis privat.
Setiap kali mendengar kalimat ‘membuka bisnis sendiri’, banyak orang keliru menafsirkannya. Yang langsung terpikir adalah membuka toko atau kantor sendiri. Padahal, dengan jam terbang dan kompetensi yang Anda miliki dari pekerjaan sebelumnya, Anda bisa saja menjadi konsultan atau tenaga lepas profesional yang bisa bebas berkantor di mana saja dan memilih tawaran pekerjaan dari mana saja.
Selain itu, orang juga sering salah kaprah bila bicara soal modal usaha. Mereka selalu mengasosiasikan modal dengan uang, dalam jumlah besar pula. Akibatnya, kalau merasa tidak punya uang cukup banyak, Anda pun tidak berani memulai usaha. Di saat Anda memutuskan untuk memulai karier kedua, disadari atau tidak Anda sebenarnya sudah memiliki modal yang kuat di tangan. ‘Modal’ yang dimaksud di sini adalah kemampuan, pengalaman, dan jejaring bisnis yang Anda miliki. Ketiganya sangat dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha. Sayangnya, tidak semua orang –sekalipun yang sudah terbilang mapan– menyadari dan merasa yakin akan 'modal' yang mereka miliki tersebut.
Dalam memilih karier kedua, Alviko menyarankan sebaiknya kita tidak mengambil keputusan secara emosional semata, karena biasanya tidak akan langgeng lantaran tidak memiliki pondasi yang kuat. Pilihan karier kedua itu menjadi sulit dinikmati atau kurang dijalani secara optimal, sehingga Anda akan mudah tergoda untuk beralih ke bidang lain lagi. Disarankan pula agar Anda tidak asal memilih profesi/bidang sebagai karier kedua. Mengingat usia yang tidak lagi muda, maka bukan waktunya lagi untuk sekadar coba-coba.
Karena itu, sebelum mengambil keputusan, ada baiknya Anda melakukan introspeksi diri. Idealnya, menurut Alviko, agar meraih sukses di karier kedua, Anda juga tetap bisa bekerja di jalur yang sejalan dengan pengalaman, keterampilan, dan kompetensi yang dibentuk dari karier pertama Anda. Selain sudah teruji waktu, ‘nilai jual’ Anda di pasaran pun akan lebih tinggi.
Contohnya Belinda Gunawan. Setelah pensiun sebagai Managing Editor di sebuah majalah lifestyle terkemuka, ia memilih menjadi penerjemah dan penulis lepas. Secara garis besar, jenis pekerjaannya sama. Hanya bedanya, kalau dulu di kantor, ia mengedit tulisan para reporter, sekarang ia mendapat pesanan dari berbagai majalah untuk menulis atau menerjemahkan artkel atau buku –karena ia juga fasih berbahasa Inggris. Asyiknya, selain bisa bekerja lebih leluasa di rumah, ia juga mendapat honor yang lumayan besar untuk setiap tulisan atau karya terjemahannya.
Liesna Shaw lain lagi. Setelah pensiun dini sebagai dosen seni rupa di sebuah universitas swasta bergengsi, pemilik gelar Master Fine Art ini mengajar kelas melukis untuk anak balita hingga remaja di bilangan Kemang, Jakarta, sejak 5 tahun silam. Ia sengaja memilih bidang yang tak jauh dari latar belakang ilmu dan pengalamannya salama ini, karena sadar betul itulah passion-nya. “Jujur saja, saya tidak terlalu suka bekerja kantoran dan saya sangat senang mengajar anak-anak. Dengan membuka bisnis ini, saya bisa membantu anak-anak berkreasi sekaligus menyalurkan hobi melukis saya,” ujar ibu 4 anak yang juga sering dipanggil untuk mengajar melukis privat.
Shinta Kusuma