Jarang ada perempuan Indonesia yang pada usia lanjut membuat hobinya menjadi titik profesional yang baru. Tapi itulah yang membedakan Hermandari Kartowisastro (Ndari) dari perempuan kebanyakan. Pada usia 65 ia belajar menyelam. Terbukalah dunia yang akan membuatnya terpesona selama-lamanya. Di sini ia menemukan firdausnya binatang laut, dari ikan kecil-kecil sampai yang terbesear seperti ikan hiu.
Lalu Ndari memutuskan untuk mendalami fotografi secara sungguhan, karena ia bosan dengan hasil jepretan kamera otomatis yang hasilnya begitu-begitu saja. Ia ingin menghasilkan foto yang bisa mencerminkan takjub yang ia alami. Ia mengambil kursus fotografi yang juga mengadakan praktek di lapangan. Hobi barunya ini membawanya ke berbagai tempat di tanah air, selain juga ke mancanegara. Juga menghasilkan sesuatu yang lain, ketika pada ulang tahunnya yang ke-70, 13 November 2013, ia mengadakan pameran fotonya yang pertama, yang dinilai seorang fotografer kawakan seperti Oscar Motuloh, 'sangat bagus', 'kuat', dan 'harus dilanjutkan'.
Ndari mendalami fotografi selama tiga tahun. Karena itu, profesionalisme yang terkandung dalam foto-fotonya terasa mengejutkan. Ia memahami betul segi-segi teknis dari fotografi. Ditambah dengan estetik, komposisi, dan perhatian pada detail, yang biasanya tidak dianggap penting tapi olehnya justeru diangkat menjadi aksen yang utama, seperti yang terlihat antara lain di foto The Harmonious and Symmetrical Pillars at Amer Palace, India.
Namun yang paling menonjol dan menjadi ciri khas pada foto-fotonya adalah roh dan rasa. Foto baginya seakan menjadi ungkapan dari sanubari yang terdalam. Menyerupai apa yang artis besar Indonesia, Sudjojono, pernah sebut, 'jiwa ketok'. Foto-foto arsitektur yang banyak dibuat fotografer ternama pun bisa kurang menarik karena hanya memancarkan gedung dalam foto yang sempurna tapi tidak menggreget. Foto-foto Ndari berpotensi untuk menjadi pengalaman yang spesial dan personal bagi pemirsanya. Foto bangunan arsitektur pun tidak hanya membangkitkan rasa kagum, tapi juga membuat pemirasanya mengalami; seakan berada di dalamnya, dan malah menjadi bagian dan menyatu dalam ambience keseluruhan.
Menggunakan pencahayaan alami
Minat terhadap arsitektur sebetulnya sudah ada sejak ia masih muda. Seandainya diterima di ITB, mungkin Ndari sekarang sudah menyandang gelar arsitek. Tapi ia diterima di Institut Teknik Tekstil sehingga perhatian terhadap tekstur menjadi perhatian utama. Namun, ia tetap menggeluti arsitektur. Mendirikan perusahaan interior construction bersama teman, dan bekerjasama dengan beberapa arsitek.
Pada fotografi, tentu cahaya adalah terpenting. Inipun disadari betul oleh Ndari, tapi ia menolak memakai flash sehingga seluruh karya fotonya memakai natural lighting. Jadi dia selalu harus bersabar, menunggu matahari terbit atau naik sampai tingkat pemancaran yang pas untuk apa yang mau difoto. Tentu menjadi upaya tersendiri: kadang ia harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan lighting yang cocok. Hasilnya menakjubkan. Salah satu contoh adalah foto yang ia buat di Bagan, daerah di Mandalay Myanmar, yang menyatukan sekitar 10.000 candi, pagoda, dan biara Buddha, yang sudah masuk daftar Unesco mengenai warisan dunia. Tampak pada Sunrise Over Misty Bagan, kompleks tersohor ini muncul dari balutan kabut/embun pagi seperti suatu misteri yang dalam proses pengungkapan.
Begitu juga Pantai Sawarna di Jawa Tengah. Di tangannya pantai ini menjadi pesona yang tiada taranya: foto diambil ketika air laut surut sehingga bukit-bukit dan batu besar yang menjulang tinggi tampak. Ndari bilang ia harus menunggu dan memilih dengan seksama momen tepat ketika air laut surut untuk membuat foto itu. Dengan gradasi warna hitam dan abu-abu dalam foto yang begitu canggih, komposisi begitu elok, dan hasil jepretan begitu sempurna, Pantai Sawarna bak dongeng dari negeri entah di mana.