Dorongan untuk selalu menyumbang, nyatanya bukan monopoli orang tua yang leluasa dengan uangnya. Pada mereka yang pas-pasan pun, keinginan itu tetap ada.
Di Amerika Serikat sekalipun, kasus-kasus seperti itu tidak langka. Kalau dulu sumbangan orang tua berhenti saat anak berusia 18 atau 21 tahun, kini seolah-olah tidak lagi. Ron Gallen, penasihat keuangan di New York, mengatakan bahwa para orang tua yang gemar menyokong anaknya itu terperangkap dalam suatu ‘jebakan’ khas orang tua. “Mereka tidak bisa bilang ‘tidak’. Ini sindroma umum, anak selalu meminta, dan orang tua selalu memberi. Padahal, kalau orang tua tidak terlalu mudah mengulurkan bantuan, anak-anak akan belajar untuk menyesuaikan pengeluaran dengan pendapatan. Selama ini mereka tidak menyadari, bahwa sebenarnya mereka bisa mandiri.”
Tentu saja ketergantungan ini tidak sepenuhnya salah si anak. Bisa jadi, dengan sikap santai ala anak muda masa kini, mereka berpikir: “Orang tuaku menawarkan bantuan, apa salahnya kalau diterima?”
Kadang-kadang kedermawanan ini didorong oleh rasa bersalah orang tua. Misalnya, sebagai ‘ganti rugi’ atas waktu-waktu mereka yang tidak sempat mendampingi anak-anak karena bekerja atau berbisnis, atau karena anak-anak ikut mengalami masa pahit perceraian orang tuanya. Bila pemanjaan itu dimulai sejak dini, bisa jadi anak-anak jadi keenakan dan menganggap sudah selayaknya orang tua selalu membantu.
Menetapkan batasan
Jadi, bagaimana? Menghentikan bantuan, atau tetap memberi bantuan? Kuncinya adalah menetapkan batasan. Pertama, perkirakan berapa jumlah subsidi yang nyaman bagi Anda dan tidak mengganggu keuangan. “Orang tua harus memutuskan apa yang rela mereka subsidi, sampai kapan, dan berapa jumlahnya,” ujar Ron. Tentunya karakter anak perlu dipertimbangkan juga. Lalu, susun rencana subsidi itu bersama-sama. “Kalau Anda sudah merundingkannya blak-blakan, tapi si anak melampaui batas yang telah ditentukan, Anda berhak menyetop bantuan. Yang paling parah adalah bila Anda tidak menentukan batasan sama sekali.”
Tapi, teori memang lebih mudah dibicarakan daripada dipraktekkan. Bagaimana bila kita menyetujui pilihan karier anak kita, tapi gajinya tidak cukup? Kalau kita sendiri punya uang berlebih, bukankah wajar saja kalau kita membantunya?
Sikap yang benar dalam hal ini keterbukaan. Kalau kita tidak bisa membantu –atau memilih untuk tidak membantu– kita tidak perlu merasa bersalah. Kalaupun kita sesekali memberi, itu dengan senang hati. “Bukankah memang itu gunanya uang?” kata Lana (45), yang memberi anak-anaknya beberapa ‘kemewahan’ yang tidak (atau belum) sanggup mereka biayai sendiri. Misalnya, voucher hotel untuk anak dan menantunya bermalam tahun baru di hotel berbintang. Bagi Lana itu bukan sumbangan, tapi hadiah kasih sayang dari ibu untuk anak!
Di Amerika Serikat sekalipun, kasus-kasus seperti itu tidak langka. Kalau dulu sumbangan orang tua berhenti saat anak berusia 18 atau 21 tahun, kini seolah-olah tidak lagi. Ron Gallen, penasihat keuangan di New York, mengatakan bahwa para orang tua yang gemar menyokong anaknya itu terperangkap dalam suatu ‘jebakan’ khas orang tua. “Mereka tidak bisa bilang ‘tidak’. Ini sindroma umum, anak selalu meminta, dan orang tua selalu memberi. Padahal, kalau orang tua tidak terlalu mudah mengulurkan bantuan, anak-anak akan belajar untuk menyesuaikan pengeluaran dengan pendapatan. Selama ini mereka tidak menyadari, bahwa sebenarnya mereka bisa mandiri.”
Tentu saja ketergantungan ini tidak sepenuhnya salah si anak. Bisa jadi, dengan sikap santai ala anak muda masa kini, mereka berpikir: “Orang tuaku menawarkan bantuan, apa salahnya kalau diterima?”
Kadang-kadang kedermawanan ini didorong oleh rasa bersalah orang tua. Misalnya, sebagai ‘ganti rugi’ atas waktu-waktu mereka yang tidak sempat mendampingi anak-anak karena bekerja atau berbisnis, atau karena anak-anak ikut mengalami masa pahit perceraian orang tuanya. Bila pemanjaan itu dimulai sejak dini, bisa jadi anak-anak jadi keenakan dan menganggap sudah selayaknya orang tua selalu membantu.
Menetapkan batasan
Jadi, bagaimana? Menghentikan bantuan, atau tetap memberi bantuan? Kuncinya adalah menetapkan batasan. Pertama, perkirakan berapa jumlah subsidi yang nyaman bagi Anda dan tidak mengganggu keuangan. “Orang tua harus memutuskan apa yang rela mereka subsidi, sampai kapan, dan berapa jumlahnya,” ujar Ron. Tentunya karakter anak perlu dipertimbangkan juga. Lalu, susun rencana subsidi itu bersama-sama. “Kalau Anda sudah merundingkannya blak-blakan, tapi si anak melampaui batas yang telah ditentukan, Anda berhak menyetop bantuan. Yang paling parah adalah bila Anda tidak menentukan batasan sama sekali.”
Tapi, teori memang lebih mudah dibicarakan daripada dipraktekkan. Bagaimana bila kita menyetujui pilihan karier anak kita, tapi gajinya tidak cukup? Kalau kita sendiri punya uang berlebih, bukankah wajar saja kalau kita membantunya?
Sikap yang benar dalam hal ini keterbukaan. Kalau kita tidak bisa membantu –atau memilih untuk tidak membantu– kita tidak perlu merasa bersalah. Kalaupun kita sesekali memberi, itu dengan senang hati. “Bukankah memang itu gunanya uang?” kata Lana (45), yang memberi anak-anaknya beberapa ‘kemewahan’ yang tidak (atau belum) sanggup mereka biayai sendiri. Misalnya, voucher hotel untuk anak dan menantunya bermalam tahun baru di hotel berbintang. Bagi Lana itu bukan sumbangan, tapi hadiah kasih sayang dari ibu untuk anak!