Tidak semua pernikahan berakhir manis. Setelah 8 tahun bersama, Yani (bukan nama sebenarnya) dengan berat hati berpisah dengan suaminya karena merasakan banyak perbedaan prinsip. Meski ia harus menanggung konsekuensi terberat yaitu menyandang status janda dan kehilangan dukungan finansial dari suami.
Meskipun selama ini Yani bekerja sebagai sekretaris direksi, kebutuhan rumah tangganya ditopang oleh suaminya. Dengan proses perceraian yang masih berjalan, Yani ragu untuk menuntut harta gono-gini. Selain karena tidak sanggup membayar jasa pengacara, Yani juga takut proses perceraian jadi tambah sulit. Jika ia kembali melajang, ia harus menyelesaikan semua urusan keuangan sendiri: mulai dari membayar tagihan kartu kredit, biaya sewa rumah, transportasi, biaya pulsa dan biaya ‘senang-senang’nya. Dengan kondisi tabungannya yang minim dan biaya gaya hidup yang terlanjur tinggi, bagaimana Yani bisa bertahan?
Solusi pakar
Meski sedang mengalami cobaan secara emosional, Yani harus tetap berpikir logis. Langkah awal adalah dengan melakukan financial-check up. Fakta yang harus dihadapi, Yani kembali menjadi wanita lajang seperti halnya para first-jobber. Yani masih cukup beruntung karena belum memiliki tanggungan anak sehingga bisa lebih bebas menentukan pilihan sendiri. Karena tidak memiliki tempat tinggal, Yani bisa memilih kembali ke rumah orang tua atau mencari tempat kos.
Dari hasil financial check up, Yani disarankan untuk menyusun ulang angaran rumah tangganya yang baru. Setiap bulan, saya sarankan Yani untuk membagi alokasi gaji menjadi 50% untuk biaya hidup (termasuk bayar cicilan kartu kredit), 30% untuk gaya hidup, dan 20% untuk investasi, terutama untuk memiliki rumah sendiri.
Saya juga tidak menyarankan Yani untuk menggunakan kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dan yang paling penting, mau tak mau Yani harus bisa bersikap realistis dan mengubah gaya hidup sesuai penghasilannya.
Meskipun selama ini Yani bekerja sebagai sekretaris direksi, kebutuhan rumah tangganya ditopang oleh suaminya. Dengan proses perceraian yang masih berjalan, Yani ragu untuk menuntut harta gono-gini. Selain karena tidak sanggup membayar jasa pengacara, Yani juga takut proses perceraian jadi tambah sulit. Jika ia kembali melajang, ia harus menyelesaikan semua urusan keuangan sendiri: mulai dari membayar tagihan kartu kredit, biaya sewa rumah, transportasi, biaya pulsa dan biaya ‘senang-senang’nya. Dengan kondisi tabungannya yang minim dan biaya gaya hidup yang terlanjur tinggi, bagaimana Yani bisa bertahan?
Solusi pakar
Meski sedang mengalami cobaan secara emosional, Yani harus tetap berpikir logis. Langkah awal adalah dengan melakukan financial-check up. Fakta yang harus dihadapi, Yani kembali menjadi wanita lajang seperti halnya para first-jobber. Yani masih cukup beruntung karena belum memiliki tanggungan anak sehingga bisa lebih bebas menentukan pilihan sendiri. Karena tidak memiliki tempat tinggal, Yani bisa memilih kembali ke rumah orang tua atau mencari tempat kos.
Dari hasil financial check up, Yani disarankan untuk menyusun ulang angaran rumah tangganya yang baru. Setiap bulan, saya sarankan Yani untuk membagi alokasi gaji menjadi 50% untuk biaya hidup (termasuk bayar cicilan kartu kredit), 30% untuk gaya hidup, dan 20% untuk investasi, terutama untuk memiliki rumah sendiri.
Saya juga tidak menyarankan Yani untuk menggunakan kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dan yang paling penting, mau tak mau Yani harus bisa bersikap realistis dan mengubah gaya hidup sesuai penghasilannya.
Konsultan: Prita Hapsari Ghozie