Cuek soal uang, ternyata bukan monopoli wanita timur. Germaine W. Shames, penulis fiksi dan non-fiksi, wanita Amerika tulen, juga pernah mengalami kerugian besar karena sikap cueknya soal uang. Dia menulis kisahnya di sebuah majalah sebagai berikut:
Di dalam keluargaku, para pria memboroskan uangnya sementara para wanita menabung. Sementara Ayah mengejar ambisi bisnisnya dengan mengendarai mobil mahal dan memakai pakaian keren, ibu dan nenekku menyimpan uang untuk membeli saham dan tanah. Aku tidak mewarisi gaya hidup ayahku maupun ibuku. Bagiku, memiliki uang berarti bisa menjauhkan diri dari keluarga. Di usia 20 tahun aku sudah belajar dan bepergian di dua lusin negara Eropa.
Lalu bisnis ayahku bangkrut. Tiba-tiba aku tersadar, aku harus bisa membiayai hidupku. Saran ibu dan nenekku saat itu sungguh menakjubkan: ‘Menikahlah dengan pria kaya’. Tapi aku tidak mau dijodohkan dengan ‘pangeran’ yang mereka sodorkan kepadaku. Dengan sisa uangku aku kuliah lagi untuk mendapat gelar master dalam manajemen internasional. Tamat kuliah, aku bekerja di Hotel Hilton International, dan menghasilkan uang lebih banyak daripada yang sempat kubelanjakan. Aku mulai menabung.Tapi Germaine mengakui sendiri, ia tidak menginvestasikan uangnya dengan cerdik. Uangnya hanya diendapkan di tabungan sampai seorang paman menyarankan dia untuk membeli saham. Dengan berjalannya waktu, dananya pun berkembang. Amplop-amplop berisi laporan keuangan sampai ke alamatnya melalui pos, tapi ia terlalu sibuk untuk membukanya.
Pada tahun '90-an, kesehatan orang tuanya menurun drastis. Melihat orang-orang tersayang sibuk memperjuangkan hidup, dia memutuskan untuk menikmati hidup sepenuhnya. Dia meninggalkan pekerjaannya dan mengucilkan diri di pedesaan, ditemani komputer dan buku-buku referensi, menjadi penulis. Orang tua dan neneknya meninggal dalam jarak waktu satu tahun. Ayahnya meninggal seperti kebiasaannya ketika hidup: berhutang. Tapi ibu dan neneknya meninggalkan tanah dan berbagai surat berharga. Tahu-tahu Germaine memiliki aset lebih banyak dari yang berhasil dikumpulkannya selama belasan tahun bekerja.
Seorang personal banker yang hampir tidak kukenal mengajakku menemui pejabat investasi di banknya. Orang itu membujukku untuk menjual saham-saham warisan nenek dan ibuku yang konservatif, dan berinvestasi pada saham teknologi. Mula-mula aku menolak. Lalu dia mulai meneleponku di rumah. Beberapa bulan kemudian, capek mendengar bujuk rayunya, juga ragu dengan penilaianku sendiri, aku berkunjung ke kantornya dan menandatangani kontrak.
(bersambung ke Jangan Cuek Soal Uang dan Investasi [3])