Bagi mereka yang beragama Islam, sebenarnya tidak diwajibkan untuk membuat surat wasiat, karena sudah otomatis diatur oleh hukum Islam di mana tertulis bahwa hak anak lelaki dan perempuan adalah 2 berbanding satu. Meski sudah ditetapkan dan digunakan secara patuh, peluang terjadinya sengketa tetap besar terjadi. Misalnya, apabila salah satu ahli waris berpindah kepercayaan, maka yang bersangkutan namanya otomatis tercoret dari daftar ahli waris. Namun bisa saja dia tetap menuntut haknya ke pengadilan negeri, meskipun kecil peluangnya untuk mendapatkan warisan.
Lalu bagaimana dengan anak adopsi? Berdasar pada hukum Islam, anak adopsi tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, tetapi orang tua angkat diperbolehkan untuk memberikan wasiat, asalkan tidak melebihi 1/3 dari harta peninggalannya. Namun, menurut Dr. Ir. Anita D.A. Kolopaking, SH.MH dari Anita Kolopaking & Partners, meskipun harta warisan telah dibagi menurut aturan agama sang pewaris (dalam hal ini hukum Islam), pada eksekusinya hak mutlak ada di tangan para ahli waris. Apabila para ahli waris tidak keberatan untuk membagi rata warisan tersebut, tanpa membedakan anak laki-laki atau anak perempuan, maka pembagian itu dianggap sah-sah saja.
Bagaimana dengan hak waris anak dari hasil pernikahan siri (nikah yang sah secara agama tapi tidak diakui secara hukum negara? Apabila seorang istri yang dinikah siri ingin menuntut hak waris atas nama anaknya, maka ia bisa mengajukan isbat nikah (penetapan pernikahan) di pengadilan agama yang prosesnya membutuhkan saksi, sidang, dan bukti-bukti telah terjadinya sebuah pernikahan. Setelah mendapatkan isbat nikah, maka istri siri tersebut dinyatakan sebagai istri yang sah, dan dengan demikian dirinya dan anak-anaknya berhak mendapat hak waris dari suami/ayah mereka.
Lantas bagaimana dengan hukum perdata? Penggunaan hukum perdata sering dijadikan sebagai jalan keluar bagi para ahli waris yang beragama non-Islam atau mereka yang merasa keberatan dengan porsi warisan yang didapat serta mengadakan negosiasi dengan melanjutkan perkara di pengadilan hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat (di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya di Minangkabau) mempunyai kekuatan yang seimbang, bahkan keduanya bisa digunakan dalam satu kasus yang sama. Contohnya adalah pewaris yang menikah secara beda agama dan mempunyai anak-anak yang memeluk agama yang berbeda-beda. Apabila pewaris memeluk agama Islam, maka hukum Islam akan mengesahkan anak kandung yang beragama Islam sebagai ahli waris. Namun, anak kandung lainnya yang beragama non-Islam tetap bisa meminta haknya dengan menggunakan hukum perdata.
Rancang dengan sebaik-baiknya
Selain notaris untuk mengesahkan warisan, seorang calon ahli waris juga bisa menggunakan jasa financial planner. Menurut Aidil Akbar Madjid, RFC, MBA, penasihat keuangan yang juga Ketua International Association of Registered Financial Consultant (IARFC) Indonesia, seorang perencana keuangan akan membantu membuatkan skema waris yang berdasar pada kebutuhan dan kepentingan klien (termasuk kalau kelak terjadi sengketa di antara para ahli waris), hingga memastikan bahwa para ahli waris yang sahlah yang pada akhirnya menerima warisan.
Apabila sengketa warisan sudah telanjur terjadi, seorang perencana keuangan tetap bisa memberikan strategi dan usulan pendekatan yang digunakan untuk memastikan Anda tetap mendapatkan hak Anda sebagai ahli waris. Salah satunya dengan menentukan hukum mana yang akan digunakan, apakah hukum perdata, adat, atau hukum Islam.
Biaya menggunakan jasa notaris atau perencana keuangan tidaklah mahal. Hanya saja kalau Anda sudah telanjur berhadapan dengan sengketa, biaya konsultasi akan disesuaikan dengan tingkat kesulitan yang ada.
Lalu bagaimana dengan anak adopsi? Berdasar pada hukum Islam, anak adopsi tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, tetapi orang tua angkat diperbolehkan untuk memberikan wasiat, asalkan tidak melebihi 1/3 dari harta peninggalannya. Namun, menurut Dr. Ir. Anita D.A. Kolopaking, SH.MH dari Anita Kolopaking & Partners, meskipun harta warisan telah dibagi menurut aturan agama sang pewaris (dalam hal ini hukum Islam), pada eksekusinya hak mutlak ada di tangan para ahli waris. Apabila para ahli waris tidak keberatan untuk membagi rata warisan tersebut, tanpa membedakan anak laki-laki atau anak perempuan, maka pembagian itu dianggap sah-sah saja.
Bagaimana dengan hak waris anak dari hasil pernikahan siri (nikah yang sah secara agama tapi tidak diakui secara hukum negara? Apabila seorang istri yang dinikah siri ingin menuntut hak waris atas nama anaknya, maka ia bisa mengajukan isbat nikah (penetapan pernikahan) di pengadilan agama yang prosesnya membutuhkan saksi, sidang, dan bukti-bukti telah terjadinya sebuah pernikahan. Setelah mendapatkan isbat nikah, maka istri siri tersebut dinyatakan sebagai istri yang sah, dan dengan demikian dirinya dan anak-anaknya berhak mendapat hak waris dari suami/ayah mereka.
Lantas bagaimana dengan hukum perdata? Penggunaan hukum perdata sering dijadikan sebagai jalan keluar bagi para ahli waris yang beragama non-Islam atau mereka yang merasa keberatan dengan porsi warisan yang didapat serta mengadakan negosiasi dengan melanjutkan perkara di pengadilan hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat (di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya di Minangkabau) mempunyai kekuatan yang seimbang, bahkan keduanya bisa digunakan dalam satu kasus yang sama. Contohnya adalah pewaris yang menikah secara beda agama dan mempunyai anak-anak yang memeluk agama yang berbeda-beda. Apabila pewaris memeluk agama Islam, maka hukum Islam akan mengesahkan anak kandung yang beragama Islam sebagai ahli waris. Namun, anak kandung lainnya yang beragama non-Islam tetap bisa meminta haknya dengan menggunakan hukum perdata.
Rancang dengan sebaik-baiknya
Selain notaris untuk mengesahkan warisan, seorang calon ahli waris juga bisa menggunakan jasa financial planner. Menurut Aidil Akbar Madjid, RFC, MBA, penasihat keuangan yang juga Ketua International Association of Registered Financial Consultant (IARFC) Indonesia, seorang perencana keuangan akan membantu membuatkan skema waris yang berdasar pada kebutuhan dan kepentingan klien (termasuk kalau kelak terjadi sengketa di antara para ahli waris), hingga memastikan bahwa para ahli waris yang sahlah yang pada akhirnya menerima warisan.
Apabila sengketa warisan sudah telanjur terjadi, seorang perencana keuangan tetap bisa memberikan strategi dan usulan pendekatan yang digunakan untuk memastikan Anda tetap mendapatkan hak Anda sebagai ahli waris. Salah satunya dengan menentukan hukum mana yang akan digunakan, apakah hukum perdata, adat, atau hukum Islam.
Biaya menggunakan jasa notaris atau perencana keuangan tidaklah mahal. Hanya saja kalau Anda sudah telanjur berhadapan dengan sengketa, biaya konsultasi akan disesuaikan dengan tingkat kesulitan yang ada.