Morea Wailatu
Saya sempat bingung ketika sopir mengarahkan mobil ke sebuah pemandian alam, bukan pantai seperti yang saya minta. Pemandian alam ini terletak di desa Waai. Terdiri dari tiga kolam besar yang menyambung jadi satu kolam besar sedalam 1,5 meter. Air dari kolam pertama (yang terletak paling jauh) biasa dipakai oleh penduduk sekitar untuk memasak atau keperluan dapur lainnya. Kolam kedua dan ketiga dipergunakan untuk mandi atau sekadar berenang dan bermain air.
Banyak sekali yang berenang dan berlompatan ke kolam pemandian, mulai dari anak-anak sampai opa-opa berenang bertelanjang dada. Sementara nona-nona hanya bermain air di pinggir kolam. Yang tidak dapat saya hindari adalah memandangi dan mengagumi para ‘berondong’ nyong Ambon yang berenang bertelanjang dada itu. Mereka umumnya memiliki badan yang keren, dengan perut ‘berkotak-kotak’. Ketika saya iseng bertanya apakah mereka berolahraga di gym, mereka malah tertawa. “Tidak, Ibu, kami berenang saja tiap pagi dan sore di sini.” Wah, resep yang layak ditiru!
Seorang pemuda menawarkan diri untuk membelikan ikan segar (tentunya saya yang bayar). Awalnya saya tidak mengerti, mau diapakan ikan-ikan itu. Tak lama kemudian dia kembali dengan seplastik besar ikan, yang kemudian dipotong-potong di pinggir kolam. Potongan daging, isi perut, dan darah ikan segar itu dicelupkan ke dalam kolam, lalu bermunculanlah belasan bahkan puluhan belut sebesar betis dan sepanjang kaki orang dewasa, yang lalu berebut mencaploknya. Belut yang dikenal dengan sebutan Morea ini mempunyai sepasang sirip di dekat kepala menyerupai telinga ini agaknya tidak terganggu dengan keberadaan orang-orang yang berenang di sekitar mereka.
Morea-morea ini dianggap keramat, jadi tidak boleh ditangkap, apalagi dimakan. Layaknya binatang peliharaan yang dibiarkan bebas berkembang biak di kolam itu, mereka pun sudah terbiasa ‘mandi-mandi’ bersama penduduk setempat.
"Ayo, Ibu kalau mau ikut mandi-mandi. Mari sini, tinggal lompat saja," kata beberapa anak. Tak usah diajak dua kali, saya sudah nyemplung dan berenang bersama mereka di tengah kolam. Sesekali beberapa morea menyentuh kulit saya, sisiknya yang dingin, licin, dan berlendir membuat morea sulit ditangkap dengan tangan kosong.
Jangan bayangkan warna air lantas menjadi keruh karena darah ikan. Tidak sama sekali. Air di kolam yang dingin itu tetap jernih dan selalu bersih, karena airnya terus mengalir dari sumber air yang berasal dari bawah sebuah batu di hulu. Setelah mengaliri kolam kedua dan ketiga barulah air boleh dipakai untuk mencuci pakaian oleh warga.
Pantai Liang
Saran untuk menyiapkan baju renang terbukti benar. Ketika sampai di Pantai Liang, saya langsung berlari menuju ujung dermaga. Air laut yang 'bening' sangat menggoda, dan tanpa berpikir panjang saya pun terjun ke laut. Warna airnya bergradasi, mulai biru muda, biru kehijauan, hingga biru tua di kejauhan. Airnya yang tenang tiba-tiba akan sedikit berombak saat ada kapal feri dari Pulau Seram lewat.
Duduk-duduk berjemur di ujung dermaga seusai berenang, sembari memandangi Pulau Seram terbentang lebar di ujung sana, saya seperti kehabisan kata-kata untuk menggambarkan keindahan pantai ini. Sambil menyeruput kopi yang dipesan dari pedagang setempat, saya menyerap nikmatnya hidup. Serasa pantai ini milik saya sendiri!
Pantai Natsepa
Menjelang tengah hari, saya beranjak menuju Kota Ambon. Rute yang saya lewati berbeda dengan rute berangkat menuju Pantai Liang. Kali ini saya dibawa menyusuri jalan yang lebih kecil, turun-naik bukit, di sisi kanannya tebing menjulang, di sisi kiri pantai dan laut membentang. Perjalanan menuju kota pun jadi memakan waktu lebih lama, karena hampir di setiap pantai landai, saya minta berhenti untuk mengambil foto.
Saat melintas daerah Natsepa, tanpa diminta mobil menepi di deretan warung-warung di sepanjang jalan. Di sinilah kita wajib mencicipi Rujak Natsepa yang kondang itu.
Sepiring kecil tumpukan buah yang 'menggunung' penuh ditutupi bumbu kacang, memang tak bisa dihabiskan dengan cepat. Sepertinya sengaja dibuat seperti itu, supaya kita bisa duduk lebih lama menikmati suguhan pemandangan pantai, perahu-perahu yang hilir mudik didayung pelan, dan bukit-bukit hijau di daratan Ambon. Saya agak terkejut ketika kelapa muda pesanan saya datang. Tidak dihidangkan dengan kelapanya, melainkan segelas besar kelapa muda dengan es batu, susu dan sirop. 'Terlalu gemuk' bagi saya, tapi ternyata habis juga, tuh…
Pintu Kota
Setelah check in di sebuah homestay di Kota Ambon, saya melanjutkan perjalanan menuju Pintu Kota, yang sempat saya sangka gerbang ‘Selamat Datang di Ambon’. Ternyata bukan itu yang dimaksud.
Pintu Kota terletak di Desa Latuhalat, sekitar 30 menit perjalanan dari Kota Ambon. Bentuknya berupa sebuah lubang menyerupai pintu pada sebuah karang yang menjorok ke laut. Karena dipenuhi karang-karang tajam, dengan ombak yang lumayan kencang, pantai ini tidak cocok untuk berenang. Tapi saat itu air sedang surut, sehingga saya bisa berjalan sampai ‘pintu kota’.
Saya pun menghabiskan sore di sana, berjalan di jalur dan tangga-tangga yang sudah tersedia. Tahu-tahu saya sudah sampai di tebing, di atas’ Pintu Kota’.
Monumen Martha Christina Tiahahu
Sebelum kembali ke homestay, saya mampir ke Monumen Martha Christina Tiahahu. Terus terang sebelumnya saya tidak tahu apa yang akan saya temui di sana, saya tidak punya bayangan apa-apa. Yang saya tahu, beliau adalah seorang remaja wanita pejuang dari Saparua, yang mendampingi ayahnya bertempur di Pulau Nusalaut dan Saparua melawan VOC dalam perang bersama Pattimura (1817). Martha Christina Tiahahu ditangkap setelah gagal menyelamatkan nyawa ayahnya dari hukuman mati, dan beliau akhirnya meninggal dalam perjalanannya ke pengasingan di tanah Jawa.
Berdiri di kaki patung tembaga yang menjulang setinggi 8 meter itu, saya mendadak terharu. Patung ini menggambarkan wanita pejuang dengan rambut panjang terurai ke belakang, berikat kepala dari sehelai kain berang (kain merah). Menjulang gagah menghadap Teluk Ambon, Martha Tiahahu seolah menunjukkan diri bahwa perjuangannya untuk Indonesia tidaklah sia-sia. Yang jelas kunjungan saya ke sini juga tidak sia-sia, karena di sinilah tempat paling strategis untuk menikmati city night view Kota Ambon.
(bersambung)