Kepulauan Derawan terletak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Sedikitnya ada empat pulau (dari 31 pulau) yang terkenal di kepulauan ini, yakni Pulau Derawan, Pulau Maratua, Pulau Sangalaki, dan Pulau Kakaban. Kepulauan Derawan sendiri memiliki tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Pulau Derawan, Kecamatan Maratua, dan Kecamatan Bidul-Biduk.
Setelah berenang bersama penyu raksasa di Pulau Derawan, esok harinya, saat malam menghampiri, saya kembali menyusuri perairan Pulau Maratua untuk menuju Desa Bohe Silian, tempat saya akan menginap malam itu, tepatnya di rumah salah satu penduduk desa. Desa Bohe Silian merupakan desa tua dengan ritme kehidupan yang berjalan pelan, seolah tidak terpengaruh dengan riuhnya wisatawan yang datang. Mayoritas penduduknya adalah Suku Bajo dari Sulawesi. Pekerjaan utama mereka nelayan. Penghasilan mereka sebagai nelayan mestinya terbilang lumayan, terlihat dari kehidupan mereka yang cukup mapan dengan rumah-rumah besar. Hampir setiap keluarga memiliki speed boat pribadi, genset, parabola, hingga kendaraan sepeda motor.
Dari speed boat, pemandangan pantai di sepanjang Desa Bohe Silian terlihat bagai lukisan. Alamnya asri dengan lembah dan perbukitan yang berhawa sejuk. Pohon kelapa berjajar rapi di antara bebukitan yang menghijau. Riak-riak ombak yang dengan gemulai menyentuh bibir pantai menambah elok suasana menjelang matahari tenggelam. Pemandangan sunset yang tak kalah jelita dengan pemandangan sunrise yang saya saksikan pada pagi hari di tepi pantai.
Di sisi bukit di bagian belakang desa terdapat Goa Sembat yang berjarak 2 km dari desa. Goa itulah tujuan kami berikutnya. Perlu sekitar 20 menit untuk trekking menuju lokasi goa. Kami harus merambah hutan tropis alami, naik-turun bukit, serta melintasi batu-batu kapur licin dan batu karang tajam yang siap menggores kulit jika tidak hati-hati. Sesekali melintas monyet abu-abu, satwa yang kabarnya hampir punah.
Bagian depan goa tertutup oleh pepohonan dan semak belukar. Untuk sampai ke mulut goa, ada celah sempit yang harus dilalui. Saya harus memiringkan badan untuk melewatinya. Bagian atas Goa Sembat terbuka, sehingga sinar matahari leluasa masuk ke dalamnya. Daun-daun kering berguguran dari pepohonan yang tumbuh di atas tebing. Berserakan dan menunggu membusuk secara alami. Di mulut goa, tepatnya di sebelah kanan atas, ada sebongkah batu stalaktit berbentuk kepala manusia. Di bawahnya ada mata air payau yang bisa direnangi dan diselami. Pemandangan yang luar biasa!
Puas berpetualang di hutan tropis Maratua dan merasakan sejuknya air di Goa Sembat, saya pun beranjak meninggalkan Desa Bohe Silian dan kembali mengarungi lautan menuju pulau lain di Kepulauan Derawan, yaitu Pulau Kakaban. Anak-anak Desa Bohe Silian yang ramah ramai-ramai mengantar kami ke dermaga, melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami.
Setelah berenang bersama penyu raksasa di Pulau Derawan, esok harinya, saat malam menghampiri, saya kembali menyusuri perairan Pulau Maratua untuk menuju Desa Bohe Silian, tempat saya akan menginap malam itu, tepatnya di rumah salah satu penduduk desa. Desa Bohe Silian merupakan desa tua dengan ritme kehidupan yang berjalan pelan, seolah tidak terpengaruh dengan riuhnya wisatawan yang datang. Mayoritas penduduknya adalah Suku Bajo dari Sulawesi. Pekerjaan utama mereka nelayan. Penghasilan mereka sebagai nelayan mestinya terbilang lumayan, terlihat dari kehidupan mereka yang cukup mapan dengan rumah-rumah besar. Hampir setiap keluarga memiliki speed boat pribadi, genset, parabola, hingga kendaraan sepeda motor.
Dari speed boat, pemandangan pantai di sepanjang Desa Bohe Silian terlihat bagai lukisan. Alamnya asri dengan lembah dan perbukitan yang berhawa sejuk. Pohon kelapa berjajar rapi di antara bebukitan yang menghijau. Riak-riak ombak yang dengan gemulai menyentuh bibir pantai menambah elok suasana menjelang matahari tenggelam. Pemandangan sunset yang tak kalah jelita dengan pemandangan sunrise yang saya saksikan pada pagi hari di tepi pantai.
Di sisi bukit di bagian belakang desa terdapat Goa Sembat yang berjarak 2 km dari desa. Goa itulah tujuan kami berikutnya. Perlu sekitar 20 menit untuk trekking menuju lokasi goa. Kami harus merambah hutan tropis alami, naik-turun bukit, serta melintasi batu-batu kapur licin dan batu karang tajam yang siap menggores kulit jika tidak hati-hati. Sesekali melintas monyet abu-abu, satwa yang kabarnya hampir punah.
Bagian depan goa tertutup oleh pepohonan dan semak belukar. Untuk sampai ke mulut goa, ada celah sempit yang harus dilalui. Saya harus memiringkan badan untuk melewatinya. Bagian atas Goa Sembat terbuka, sehingga sinar matahari leluasa masuk ke dalamnya. Daun-daun kering berguguran dari pepohonan yang tumbuh di atas tebing. Berserakan dan menunggu membusuk secara alami. Di mulut goa, tepatnya di sebelah kanan atas, ada sebongkah batu stalaktit berbentuk kepala manusia. Di bawahnya ada mata air payau yang bisa direnangi dan diselami. Pemandangan yang luar biasa!
Puas berpetualang di hutan tropis Maratua dan merasakan sejuknya air di Goa Sembat, saya pun beranjak meninggalkan Desa Bohe Silian dan kembali mengarungi lautan menuju pulau lain di Kepulauan Derawan, yaitu Pulau Kakaban. Anak-anak Desa Bohe Silian yang ramah ramai-ramai mengantar kami ke dermaga, melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami.
Teks & foto: Katerina