Awak kapal yang lain berteriak, “Manta di buritan! Ke haluan kiriii...!” Sekelebat bayangan
hitam mengilat tampak muncul di permukaan. Kami pun langsung menyerbu sisi kiri kapal. Tanpa dikomando, kami berlomba-lomba memakai peralatan snorkeling dan terjun ke laut. Arus air yang agak deras tidak menjadi halangan untuk ‘bersenang-senang’ melihat gerombolan manta yang berenang berputar-putar di dasar laut.
Berenang bersama manta raksasa tidak pernah terlintas dalam cita-cita hidup saya. Sampai sekarang pun saya masih terkagum-kagum saat mengingat seekor manta berenang lurus ke atas, tepat di bawah saya. Walaupun ia langsung menukik turun karena melihat ada manusia di atasnya, tak pelak saya takut setengah mati melihat mulutnya menganga selebar hampir 1,5 meter. Serasa mau menelan saya. Wuiiih!
Puas bercengkrama dengan manta, kami menempuh perjalanan hampir tiga jam menuju Pulau Kanawa, sebuah pulau resort yang dikelola seorang berkebangsaan Italia. Di pulau kecil ini terdapat beberapa cottage berupa rumah panggung kecil, dengan kamar mandi yang apik, dan sebuah tempat tidur berkelambu untuk 2 orang.
Uniknya, kami disambut petugas resort yang kemudian member briefing tentang tatacara
menginap di pulau ini. Karena pulau ini tidak memiliki sumber air, maka air bersih ‘diimpor’ dari Labuhanbajo. Itulah sebabnya mengapa setiap orang hanya memperoleh jatah air 90 liter per hari. Diharapkan semua orang menghemat air, namun bila jatah air tersebut habis, Anda masih bisa membelinya seharga Rp50.000 untuk 90 liter air tambahan.
Selanjutnya kami memilih acara masing-masing. Ada yang ber-kano keliling pulau, snorkeling, diving, atau menikmati pijat di saung pinggir pantai. Saya yang tidak kebagian cottage, menyewa sebuah tenda di bibir pantai, dan menikmati tidur siang berayun di atas hammock sambil mendengarkan suara ombak.
Menjelang sore, kami berencana melihat matahari terbenam dari puncak bukit. Tak disangka, jalur yang harus dilalui ternyata lebih ‘sadis’ ketimbang jalur tracking di dua pulau besar di Taman Nasional Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Terjal dan berbatu, benar-benar menguras tenaga. Untung saja, pemandangan langit sore dan sejuknya udara menjadi obat kelelahan kami sembari menunggu matahari terbenam. Terngiang kembali ucapan seorang wisatawan asing di Labuanbajo, yang dengan bahasa Indonesia terpatah-patah mengatakan, “Indonesia ini luas dan indah, perlu waktu seumur hidup untuk menikmatinya. Bahkan butuh dua kali umur hidup....”
Terry Endropoetro