Ini pengalaman pertama saya naik kapal Pelni, bernama KM Labobar, yang angkat sauh dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, mampir di Surabaya, Makassar, Sorong, Manokwari, Nabire, dan berakhir di Jayapura. Ini juga kali pertama saya berangkat bersama 362 orang lanjut usia peserta Jambore Nasional Lansia yang berumur 50 tahun ke atas. Saya yang peserta 'selundupan', ternyata termasuk yang paling muda.
Tiba di Raja Ampat, karena simpang-siurnya informasi acara yang disediakan panitia, terbentuklah kelompok-kelompok bepergian. Ada kelompok yang hanya menunggu pasrah kabar dari panitia, ada yang memilih patungan menyewa perahu untuk singgah di pulau-pulau Raja Ampat yang terkenal indah itu. Soal semangat, saya angkat topi untuk mereka! Soalnya, para lansia itu –sebagian bahkan sudah pakai tongkat— tetap berani melangkah menaiki perahu dan berperahu berjam-jam di bawah teriknya matahari Papua.
Saya ikut patungan menyewa speedboat bersama 9 peserta lain (yang ternyata masih satu keluarga). Kunjungan pertama kami adalah ke Teluk Kabui. Untuk itu kami harus melewati celah sempit batu karang, namun di dalamnya terhampar teluk yang sangat luas. Makin ke dalam, makin banyak terlihat bukit-bukit karang; ada yang berkerumun, ada yang berdiri sendiri-sendiri. Saya sampai bingung mau memotret yang mana, karena semua batu karang itu terlihat indah dari sudut mana pun.
Keluar dari Teluk Kabui, speedboat kami mampir di kampung nelayan di Pulau Yanbeba. Kami duduk-duduk santai di dermaga sambil menikmati jernihnya air di bawah dermaga. Airnya sedang surut. Ikan-ikan yang berenang di bawah dermaga seolah-olah bisa ditangkap dengan tangan.
Karena air surut pula speedboat kami sempat menyangkut di terumbu karang dekat Pulau Mansuar. Melihat hamparan terumbu warna-warni yang terbentang luas, saya mengutarakan niat untuk turun ke laut, ber-snorkeling. Namun awak perahu menggeleng. Pulau Mansuar adalah pulau resor yang dikelola oleh seorang WNA, tak sembarang orang boleh mampir ke pulau itu tanpa izin. Kecewa? Sangat! Rasanya seperti pemilik rumah mewah yang dilarang bermain di halaman rumahnya sendiri…
Perjalanan pun diteruskan ke Pasir Timbul, sebuah gundukan pasir di tengah laut yang muncul saat air surut. Saat menjejakkan kaki ke atas pasir yang lembut, tercium bau tajam belerang. Saya menduga, di bawah sana pernah ada gunung berapi. Bagaikan cincin, terumbu karang indah mengelilingi tempat ini. Cukup dengan menyelupkan kepala ke laut, saya sudah dapat menyaksikan keindahan terumbu karang dengan ribuan ikan warna-warni di sekelilingnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, kali ini saya benar-benar terjun ke laut dan ber-snorkeling di sekeliling Pasir Timbul. Pemandangan bawah lautnya memang luar biasa indahnya, membuat saya ingin menangis.
Selanjutnya kami melewati Pulau Meuskun (kelalawar). Sesuai namanya, beberapa kelalawar tampak bergelantungan di pohon-pohon. Pulau ini tak berpenghuni, biasanya dipakai penduduk sekitar untuk bersantai sambil mencari ikan karang saat air pantai surut.
Kami berhenti sebentar di Pulau Saonek, yang memiliki masjid besar dengan dua menara berwarna putih yang menjulang tinggi. Pulau ini adalah pulau berpenduduk pertama di Raja Ampat. Pusat keramaian dan perdagangan semula ada di sini sebelum dimulainya pemekaran Papua Barat dan sebelum Waisai dijadikan ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Pulau ini terkenal sebagai tempat pembuatan ikan garam. Tapi yang paling ramai dikunjungi wisatawan lokal adalah Pulau Saonek Monde, karena hanya butuh 20 menit berperahu dari Waisai.
Seorang awak perahu menunjuk awan hitam bergulung di kejauhan. "Di sana wayag, torang tara bisa ke sana (Itu badai, kita tidak bisa ke sana)." Duh, rasanya kecewa betul tidak bisa sampai ke landmark Raja Ampat tersebut. Yah, salah sendiri datang ke sini di bulan Mei, di mana setiap sore sampai pagi sering hujan dan angin kencang. Seharusnya kami datang antara September-Januari, yang merupakan waktu terbaik berpelesir ke Raja Ampat. Dengan begitu, kami bisa memanjat bukit-bukit batu karena sinar matahari tidak terlalu terik, dan puas menikmati keindahan dunia bawah laut karena gelombang relatif tenang. Kan rugi sekali sudah jauh-jauh ke sana, tapi tidak bisa puas bermain di laut. Tapi saya lalu menghibur diri. Kalaupun tetap nekad ke Pulau Saonek Monde, saya juga tak bakal bisa mendaki bukit-bukit yang ada di sana, mengingat usia teman-teman seperjalanan saya tidak muda lagi. Tapi dalam hati saya bertekad, lain kali saya akan kembali ke sini!
Perjalanan pulang menuju ke Waisai pada sore hari itu agak terburu-buru, karena kami harus berlomba-lomba dengan awan hujan yang mengejar di belakang. Yah, beginilah kalau datang ke Raja Ampat salah bulan.
Tiba di Raja Ampat, karena simpang-siurnya informasi acara yang disediakan panitia, terbentuklah kelompok-kelompok bepergian. Ada kelompok yang hanya menunggu pasrah kabar dari panitia, ada yang memilih patungan menyewa perahu untuk singgah di pulau-pulau Raja Ampat yang terkenal indah itu. Soal semangat, saya angkat topi untuk mereka! Soalnya, para lansia itu –sebagian bahkan sudah pakai tongkat— tetap berani melangkah menaiki perahu dan berperahu berjam-jam di bawah teriknya matahari Papua.
Saya ikut patungan menyewa speedboat bersama 9 peserta lain (yang ternyata masih satu keluarga). Kunjungan pertama kami adalah ke Teluk Kabui. Untuk itu kami harus melewati celah sempit batu karang, namun di dalamnya terhampar teluk yang sangat luas. Makin ke dalam, makin banyak terlihat bukit-bukit karang; ada yang berkerumun, ada yang berdiri sendiri-sendiri. Saya sampai bingung mau memotret yang mana, karena semua batu karang itu terlihat indah dari sudut mana pun.
Keluar dari Teluk Kabui, speedboat kami mampir di kampung nelayan di Pulau Yanbeba. Kami duduk-duduk santai di dermaga sambil menikmati jernihnya air di bawah dermaga. Airnya sedang surut. Ikan-ikan yang berenang di bawah dermaga seolah-olah bisa ditangkap dengan tangan.
Karena air surut pula speedboat kami sempat menyangkut di terumbu karang dekat Pulau Mansuar. Melihat hamparan terumbu warna-warni yang terbentang luas, saya mengutarakan niat untuk turun ke laut, ber-snorkeling. Namun awak perahu menggeleng. Pulau Mansuar adalah pulau resor yang dikelola oleh seorang WNA, tak sembarang orang boleh mampir ke pulau itu tanpa izin. Kecewa? Sangat! Rasanya seperti pemilik rumah mewah yang dilarang bermain di halaman rumahnya sendiri…
Perjalanan pun diteruskan ke Pasir Timbul, sebuah gundukan pasir di tengah laut yang muncul saat air surut. Saat menjejakkan kaki ke atas pasir yang lembut, tercium bau tajam belerang. Saya menduga, di bawah sana pernah ada gunung berapi. Bagaikan cincin, terumbu karang indah mengelilingi tempat ini. Cukup dengan menyelupkan kepala ke laut, saya sudah dapat menyaksikan keindahan terumbu karang dengan ribuan ikan warna-warni di sekelilingnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, kali ini saya benar-benar terjun ke laut dan ber-snorkeling di sekeliling Pasir Timbul. Pemandangan bawah lautnya memang luar biasa indahnya, membuat saya ingin menangis.
Selanjutnya kami melewati Pulau Meuskun (kelalawar). Sesuai namanya, beberapa kelalawar tampak bergelantungan di pohon-pohon. Pulau ini tak berpenghuni, biasanya dipakai penduduk sekitar untuk bersantai sambil mencari ikan karang saat air pantai surut.
Kami berhenti sebentar di Pulau Saonek, yang memiliki masjid besar dengan dua menara berwarna putih yang menjulang tinggi. Pulau ini adalah pulau berpenduduk pertama di Raja Ampat. Pusat keramaian dan perdagangan semula ada di sini sebelum dimulainya pemekaran Papua Barat dan sebelum Waisai dijadikan ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Pulau ini terkenal sebagai tempat pembuatan ikan garam. Tapi yang paling ramai dikunjungi wisatawan lokal adalah Pulau Saonek Monde, karena hanya butuh 20 menit berperahu dari Waisai.
Seorang awak perahu menunjuk awan hitam bergulung di kejauhan. "Di sana wayag, torang tara bisa ke sana (Itu badai, kita tidak bisa ke sana)." Duh, rasanya kecewa betul tidak bisa sampai ke landmark Raja Ampat tersebut. Yah, salah sendiri datang ke sini di bulan Mei, di mana setiap sore sampai pagi sering hujan dan angin kencang. Seharusnya kami datang antara September-Januari, yang merupakan waktu terbaik berpelesir ke Raja Ampat. Dengan begitu, kami bisa memanjat bukit-bukit batu karena sinar matahari tidak terlalu terik, dan puas menikmati keindahan dunia bawah laut karena gelombang relatif tenang. Kan rugi sekali sudah jauh-jauh ke sana, tapi tidak bisa puas bermain di laut. Tapi saya lalu menghibur diri. Kalaupun tetap nekad ke Pulau Saonek Monde, saya juga tak bakal bisa mendaki bukit-bukit yang ada di sana, mengingat usia teman-teman seperjalanan saya tidak muda lagi. Tapi dalam hati saya bertekad, lain kali saya akan kembali ke sini!
Perjalanan pulang menuju ke Waisai pada sore hari itu agak terburu-buru, karena kami harus berlomba-lomba dengan awan hujan yang mengejar di belakang. Yah, beginilah kalau datang ke Raja Ampat salah bulan.
teks & foto: Terry Endropoetro