Kota yang terapung di atas laguna ini memang benar-benar cantik. Grand Canal, sungai besar yang membelah kota ini, terlihat sibuk dilewati berbagai jenis perahu. Tidak hanya perahu untuk mengangkut turis, tetapi juga sebagai alat transportasi yang digunakan oleh penduduk setempat. Bangunan-bangunan sederhana yang ‘memagari’ sungai tampaknya menjadi pelindung yang kokoh. Tak ada kemegahan berlebihan. Yang tampak ‘hanya’ keindahan yang begitu menyihir.
Berbekal selembar peta, pada musim panas lalu kami menelusuri lekuk-lekuk jalan di Venezia. Siap-siap saja kaki pegal, karena tidak ada kendaraan apa pun yang bisa mengangkut Anda selama di daratan. Satu-satunya cara untuk menikmati keindahan kota ini adalah dengan berjalan kaki. Yang paling menantang, saat itu matahari sedang senang-senangnya memancarkan cahaya.
Sejujurnya, peta itu tak terlalu banyak membantu. Karena, nama-nama jalan kadang ditulis dengan sangat kecil di satu sisi tembok sehingga sulit ditemukan, atau jalan itu hanya berupa lorong sangat sempit yang lebarnya mungkin hanya sekitar setengah meter. Saya yang sangat terbiasa membaca peta, tak ayal kewalahan juga. Akhirnya kami berjalan hanya mengandalkan insting. Yakin saja tak akan tersesat. Lagi pula, di mana-mana ada turis (terlihat dari bawaannya: peta). Kalau mulai tidak pede, kami berjalan mengikuti arus saja.
Seru sekali menelusuri kota yang bagaikan labirin raksasa ini. Ingin mencari St Mark’s Basilica (warga setempat menyebutnya Basilica San Marco) yang ternama saja, sulitnya minta ampun. Kami kerap tersasar di gang-gang kecil. Tapi, tak masalah, karena selalu ada turis lain di situ dan pemandangannya tetap cantik. Memang, di setiap sudut yang kami temukan hanya air dan jembatan. Tapi, tak semua jembatan seragam. Ada yang berpagar kayu, ada juga yang berbagar besi yang cantik. Besarnya pun berbeda-beda. Yang jelas, semua sudut tampaknya menjadi setting yang indah untuk merekam kehadiran kita di sana.
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja kami menemukan sebuah jalan kecil yang sangat padat oleh turis dan toko-toko. Saat menengadah, saya melihat sebuah lingkaran besar menyerupai jam, di tengahnya ada bentuk matahari dengan latar biru dan bertabur bintang. Matahari itu dibingkai angka-angka dalam huruf romawi. Yang mengherankan, angkanya bukan sampai 12, melainkan hingga 24. Saya amati dari dekat, ada jarum yang berhenti di antara angka 14 dan 15 (angka 14-nya ditulis tidak lazim, bukan XIV melainkan XIIII). Lalu, saya lirik jam di pergelangan tangan, tepat pukul 14.30.
Dari arah depan sinar matahari perlahan menerobos masuk ke jalan sempit yang teduh itu. Rupanya, inilah pintu gerbang yang dicari-cari, yang membawa kami ke Piazza San Marco, tempat gereja St Mark Basilica berdiri gagah. Meski sedang direnovasi, antrean pengunjung tampak mengular. Eksterior dan interior gereja yang dibangun pada 1094 ini sangat indah. Layaknya gereja-gereja kuno di Eropa, langit-langitnya tinggi menjulang, memamerkan lukisan mural yang cantik. Ada kisah-kisah dalam Alkitab yang tertuang lewat lukisan-lukisan mural itu.
Sayangnya, pengunjung tak bisa memotret interior gereja ini, juga gereja-gereja lain yang tersebar di sini. Pasti ada tanda ‘no photo’. Memang tak ada ‘ancaman’ bahwa kalau memotret akan didenda, tapi saya cari aman saja, daripada diomelin di negeri orang dalam bahasa yang tak saya mengerti. Teman saya bilang, peraturan itu sebenarnya untuk mendukung pariwisata di Italia. Maksudnya, agar turis tertarik membeli kartu pos yang mereka jual. Kalau semua turis jadi fotografer, siapa yang akan membeli kartu-kartu pos itu? Hmm… benar juga.
Berbekal selembar peta, pada musim panas lalu kami menelusuri lekuk-lekuk jalan di Venezia. Siap-siap saja kaki pegal, karena tidak ada kendaraan apa pun yang bisa mengangkut Anda selama di daratan. Satu-satunya cara untuk menikmati keindahan kota ini adalah dengan berjalan kaki. Yang paling menantang, saat itu matahari sedang senang-senangnya memancarkan cahaya.
Sejujurnya, peta itu tak terlalu banyak membantu. Karena, nama-nama jalan kadang ditulis dengan sangat kecil di satu sisi tembok sehingga sulit ditemukan, atau jalan itu hanya berupa lorong sangat sempit yang lebarnya mungkin hanya sekitar setengah meter. Saya yang sangat terbiasa membaca peta, tak ayal kewalahan juga. Akhirnya kami berjalan hanya mengandalkan insting. Yakin saja tak akan tersesat. Lagi pula, di mana-mana ada turis (terlihat dari bawaannya: peta). Kalau mulai tidak pede, kami berjalan mengikuti arus saja.
Seru sekali menelusuri kota yang bagaikan labirin raksasa ini. Ingin mencari St Mark’s Basilica (warga setempat menyebutnya Basilica San Marco) yang ternama saja, sulitnya minta ampun. Kami kerap tersasar di gang-gang kecil. Tapi, tak masalah, karena selalu ada turis lain di situ dan pemandangannya tetap cantik. Memang, di setiap sudut yang kami temukan hanya air dan jembatan. Tapi, tak semua jembatan seragam. Ada yang berpagar kayu, ada juga yang berbagar besi yang cantik. Besarnya pun berbeda-beda. Yang jelas, semua sudut tampaknya menjadi setting yang indah untuk merekam kehadiran kita di sana.
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja kami menemukan sebuah jalan kecil yang sangat padat oleh turis dan toko-toko. Saat menengadah, saya melihat sebuah lingkaran besar menyerupai jam, di tengahnya ada bentuk matahari dengan latar biru dan bertabur bintang. Matahari itu dibingkai angka-angka dalam huruf romawi. Yang mengherankan, angkanya bukan sampai 12, melainkan hingga 24. Saya amati dari dekat, ada jarum yang berhenti di antara angka 14 dan 15 (angka 14-nya ditulis tidak lazim, bukan XIV melainkan XIIII). Lalu, saya lirik jam di pergelangan tangan, tepat pukul 14.30.
Dari arah depan sinar matahari perlahan menerobos masuk ke jalan sempit yang teduh itu. Rupanya, inilah pintu gerbang yang dicari-cari, yang membawa kami ke Piazza San Marco, tempat gereja St Mark Basilica berdiri gagah. Meski sedang direnovasi, antrean pengunjung tampak mengular. Eksterior dan interior gereja yang dibangun pada 1094 ini sangat indah. Layaknya gereja-gereja kuno di Eropa, langit-langitnya tinggi menjulang, memamerkan lukisan mural yang cantik. Ada kisah-kisah dalam Alkitab yang tertuang lewat lukisan-lukisan mural itu.
Sayangnya, pengunjung tak bisa memotret interior gereja ini, juga gereja-gereja lain yang tersebar di sini. Pasti ada tanda ‘no photo’. Memang tak ada ‘ancaman’ bahwa kalau memotret akan didenda, tapi saya cari aman saja, daripada diomelin di negeri orang dalam bahasa yang tak saya mengerti. Teman saya bilang, peraturan itu sebenarnya untuk mendukung pariwisata di Italia. Maksudnya, agar turis tertarik membeli kartu pos yang mereka jual. Kalau semua turis jadi fotografer, siapa yang akan membeli kartu-kartu pos itu? Hmm… benar juga.
Veronica Wahyuningkintarsih