“Jalan saja tenang-tenang, Ibu. Tapi jangan mengayunkan tangan atau apa pun yang bisa menarik perhatian mereka,” kata seorang ranger ketika melihat saya terpaku di tempat. Alhasil, dengan hati kebat-kebit, kami pun berjalan pelan dan kaku seperti robot. Ada tiga orang ranger yang mengawal saat rombongan kami memilih medium track yang memakan waktu 1,5-2 jam perjalanan. Saat melewati hutan, kami sempat mampir di mata air tempat komodo minum, sarang bekas komodo bertelur, dan mengagumi pohon-pohon sagu yang menjulang tinggi tempat komodo yang baru menetas naik dan membuat lubang tempat berlindung dari komodo-komodo dewasa yang siap melahap mereka.
Kami berpapasan dengan dua peneliti asing dan seorang ranger, yang dengan bahasa isyarat menunjuk ke sebuah pohon di Sulphurea Hill Top, bukit tertinggi di jalur ini. Benar saja, seekor komodo tampak sedang mengaso. Walau tampak sedang santai, matanya tetap waspada. Dari puncak bukit, tersuguh pemandangan berupa bukit berbatu, ladang savana, dan lautan biru yang menyatu. Kami menyesal tidak mengambil jalur long track sekalian.
Menuruni bukit juga bukan hal yang sepele. Bila tidak memakai alas kaki yang tepat, dan tidak berhati-hati, dijamin akan mengalami cedera. Kemudian sampailah kami kembali di perkampungan ranger. Beberapa rumah panggung tampak tak lagi ditinggali. Rumah-rumah itu dulu sempat disewakan bagi wisatawan yang ingin menginap. Namun, alasan yang sama terlontar, bila terlalu sering bersinggungan dengan manusia, ditakutkan para komodo akan menjadi manja, dan lama kelamaan akan mengganggu ekosistemnya.
Di sekitar perkampungan, kami masih bertemu dengan belasan komodo lain, yang sedang berjemur diam tak bergerak. Di sekitarnya rusa-rusa yang sedang merumput atau bergerombol di bawah pepohonan, serta seekor babi hutan tampak bebas berkeliaran. Kehidupan yang tenang dan damai. “Komodo-komodo itu masih belum lapar, Ibu,” kata ranger menjelaskan.
Saat rombongan digiring ke kios-kios penjual cindera mata, saya menyesal setengah mati, karena meninggalkan tas dan dompet di kapal. Belasan penjual menjajakan kalung-kalung mutiara beraneka warna, bentuk, dan ukuran. Kaos-kaos, pin bergambar komodo, dan miniatur komodo berbagai ukuran, terbuat dari kayu yang terukir rapi, sengaja dipajang sedemikian rupa untuk menggugah nafsu belanja pengunjung.
Saat menuju ke dermaga, karena sibuk mengagumi kalung mutiara yang baru saya beli, saya jadi sedikit lengah. Untunglah, dengan ujung mata, saya masih sempat melihat sesuatu berrgerak menghampiri saya. Seekor komodo dewasa! Dari kejauhan seorang ranger berseru, “Jangan panik, Ibu!” Tapi saya sudah telanjur meloncat ke atas pagar batu.... ha...ha...ha....
Seperti anak kecil yang kesenangan, kami berlarian menuju kapal, karena tujuan berikutnya adalah Pink Beach! Disebut begitu,, karena pantai yang membentang luas di sisi lain Pulau Komodo ini dipenuhi pecahan halus karang berwarna merah yang terbawa ombak, sehingga pantai berpasir putih ini pun jadi terlihat bersemu merah jambu. Walau masih di pulau yang sama, menurut para ranger, tempat ini aman dari jangkauan komodo. Jadi lupakan sejenak binatang purba itu! Kami pun menghabiskan hari dengan berenang, berjemur, dan ber-snorkeling sampai kulit mengilat terbakar matahari. Bosan menghabiskan waktu di Pink Beach yang satu, kami berpindah ke Pink Beach lain di sisi selatan pulau.
Menjelang sore, kapal kami berpindah tempat menuju Soro Masangga, sebuah teluk dekat perkampungan nelayan di Pulau Komodo. Saat memasuki teluk beberapa sampan kayu berlomba mengejar kapal, ternyata mereka adalah pedagang cindera mata. Ah, saya sungguh beruntung. Senyum pun langsung mengembang.
Terry Endropoetro