Saya beserta rombongan mendarat di Mataram, Pulau Lombok, sekitar pukul 09.00 WITA. Tidak ingin membuang waktu, kami pun langsung melakukan perjalanan overland dengan mobil menuju Pulau Sumbawa. Sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan yang begitu berbeda dengan pemandangan Jakarta yang hiruk pikuk dan macet berat, yang menjadi bagian dari kehidupan saya sehari-hari. Hamparan sawah yang hijau, langit biru cerah, dan suasana yang tenang membuat saya merasa begitu relaks. Sembari termenung dan menikmati pemandangan, tanpa sadar saya tertidur.
Ketika terbangun, saya terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Sawah sudah digantikan dengan hamparan laut dengan berbagai nuansa biru. Pantainya bersih dan tenang. Rupanya kami sudah hampir sampai di Pulau Bungin, 70 kilometer sebelah barat Kota Sumbawa Besar. Untuk mencapai pulau mungil ini, kami harus berkendara kurang lebih empat jam, termasuk perjalanan laut menggunakan kapal penyeberangan.
Pulau ini mendapatkan namanya dari kata 'bungin', yang bermakna pasir putih yang muncul di tengah lautan. Nama yang cocok bagi sebuah pulau yang berdiri di atas batu karang, di tengah lautan. Luas pulau ini dulunya hanya sekitar tiga hektare, dan kemudian makin meluas hingga mencapai kira-kira delapan hektare saat ini. Uniknya, di lahan sesempit ini hidup tiga ribu jiwa. Itulah alasan kenapa pulau ini dijuluki sebagai pulau terpadat di dunia.
Padahal, di pulau mungil ini tidak ditemukan lahan pertanian, perkebunan, maupun peternakan. Ketiadaan lahan yang bisa ditanami membuat satu-satunya jenis ternak yang berada di pulau tersebut, yaitu kambing, terpaksa harus memakan kertas koran, uang (kalau ada yang tercecer), dan baju-baju yang telah robek. Anehnya, kambing-kambing itu tampak sehat-sehat saja, meski agak kurus.
Pulau Bungin juga memiliki hukum ketat mengenai adat perkawinan. Pasangan muda yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri untuk mendirikan rumah mereka. Caranya dengan mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk pada sisi luar pulau yang sudah ditentukan. Setelah lokasi terbentuk, barulah mereka boleh menikah dan mendirikan rumah. Itu sebabnya, luas Pulau Bungin terus bertambah dari tahun ke tahun, sehingga dapat mengakomodasi pertambahan penduduk.
Turun dari mobil, kami disambut oleh anak-anak yang tersenyum senang. Mereka tertawa melihat kamera yang tergantung di leher saya dan terus mengikuti kami menuju kediaman Makadyah, salah seorang penduduk tertua di Pulau Bungin. Menurut Makadyah, Pulau Bungin sudah ada sejak awal tahun 1800-an, dan penghuni pertamanya adalah nenek moyang mereka yang dibawa armada laut Panglima Mayo, seorang pejuang Sulawesi Selatan, ketika terdesak oleh penjajah Belanda. Makadyah juga memperlihatkan dua bendera peninggalan leluhurnya yang masih tersimpan dengan baik, barang yang ternyata jarang ia tunjukkan kepada kebanyakan pengunjung Pulau Bungin.
Masih kata Makadyah, cukup banyak turis yang berkunjung ke Desa Bungin, terutama dari Belanda, Inggris, dan Jepang. Walaupun tidak ada hotel atau penginapan, penduduk Bungin dengan senang hati memperbolehkan para wisatawan menginap di rumah mereka dan melihat langsung kehidupan penduduk setempat. “Mereka sangat suka melihat kambing yang makan uang,” ucap Makadyah sembari tersenyum, bangga akan keunikan kampungnya.
Nisa Riphat