“Work hard travel harder” bukan mantra penyemangat, melainkan mantra untuk hidup.
Karena itu, anyak orang yang sudah kasak-kusuk melihat kalender tahun depan untuk mencari long weekend meski sekarang baru pertengahan tahun.
Standar cuti para pekerja hanya 12 hari per tahun membuat tanggal merah memberi gairah. Rencana pun dibuat, akhir pekan mana yang paling
menguntungkan, lalu mulailah menentukan destinasi.
Kita bisa saja menyalahkan perkembangan teknologi yang pesat atas perubahan cara hidup kita. Dengan seperangkat smartphone dan koneksi internet yang tokcer, hampir semua hal dapat kita lakukan dan dapatkan.
Memesan makanan, mencari transportasi, mengirim barang, mencari jawaban pertanyaan yang sulit, memecahkan masalah miskomunikasi karena perbedaan bahasa, dan masih banyak lagi.
Cara kita berkelana pun tak luput dari pengaruhnya. Memilih moda transportasi, memesan penginapan, hingga membuat itinerary bisa dilakukan sambil duduk memandangi layar komputer. Destinasi pun bisa dipilih dengan mudah ketika calon pelancong mengulik media sosial.
Selanjutnya, kita akan melihat kalender travel fair yang mendekati tanggal pilihan kita tersebut. Bukan hal mengejutkan bahwa travel fair penuh dengan promosi tiket, tur, dan hotel murah.
Ada asap karena ada api. Fenomena traveling ini tidak terjadi out of the blue. Ada setidaknya lima alasan yang membuatnya menjadi topik hits dalam perbincangan kita.
1. Semakin sadar akan work-life balance
Ada pegawai yang memilih untuk tidak memakai hak cuti mereka. Mereka lebih memilih menguangkan hak cuti mereka itu untuk dimasukkan ke dalam anggaran sekolah anak, misalnya—meski liburan mungkin banyak manfaatnya pula.
Namun saat ini menganggarkan biaya liburan menjadi sama pentingnya dengan (misalnya) menganggarkan biaya sekolah anak. Tak sedikit orang menyadari bahwa liburan itu perlu untuk menyeimbangkan kehidupan dengan tingkat stres yang lumayan tinggi.
Tak hanya pekerja yang menyadari hal ini, para pemberi kerja mulai menyadarinya.
Pengusaha yang mengedepankan nilai-nilai (tidak semata-mata profit) mulai ‘merelakan’ waktu cuti para pekerja dengan harapan mereka lebih bahagia, kreatif, dan fresh setelah berlibur. Setelah kembali bekerja, mereka akan termotivasi dan bekerja dengan lebih giat.
2. Semudah menggerakkan jari
Generasi Millennials adalah generasi terbesar sepanjang sejarah. Wajar saja jika perilaku mereka kemudian menentukan arah tren di masyarakat. Sebagai generasi termuda yang memiliki pendapatan mandiri, mereka menjadi pemimpin dalam dunia travel dan turisme.
Satu hal yang selalu dihubungkan dengan Millennials adalah teknologi. Mereka menggunakan teknologi untuk semua hal yang mereka lakukan
sehari-hari. Tentu saja hal itu juga terjadi ketika mereka mengatur liburan.
Bisa dilakukan dengan hanya duduk sambil memandangi layar ponsel atau komputer, mengatur perjalanan menjadi sangat mudah. Kita bisa memesan tiket pesawat melalui situs resmi maskapai penerbangan atau melalui situs-situs travel seperti traveloka.com, tiket.com, atau skyscanner.com.
Selain memiliki potongan harga yang nilainya lumayan, situs tersebut dapat mencari perjalanan multi maskapai, sesuatu yang dulu hanya bisa dilakukan dengan mendatangi agen perjalanan.
Selain situs, aplikasi ponsel begitu memudahkan kita yang sudah ‘gatal’ ingin berkelana.
Coba saja buka AppStore atau PlayStore di ponsel Anda dan ketik kata travel. Hasilnya pasti bejibun. Semua kebutuhan travel ada di sana. Informasi penerbangan, penginapan, cuaca, kurs mata uang, moda transportasi, info restoran, peta, bahasa, dan sebagainya.