Ayu Bulantrisna Djelantik, 70, maestro tari yang telah mendedikasikan hidupnya untuk tari selama 63 tahun, bicara tentang gairah hidup.
Bagi saya, menari adalah bentuk kecintaan jiwa kepada Sang Pencipta. Ungkapan untuk gaya tari tradisional yang saya kuasai, khususnya Tari Legong, adalah menengadahkan muka kepada satu yang di atas, meregang tubuh di antaranya dan menginjakkan kaki ke pusat bumi. Meski menari menggunakan gerakan fisik, kegiatan ini memang tidak lepas dari sisi spiritual, yakni selalu mengingat kepada Yang Di Atas.
Saya mulai menari sejak umur 7 tahun, dan pada usia 10 tahun saya dipanggil menari di Istana Negara untuk tampil di depan Bung Karno. Sejak itu saya sering diajak untuk menari di depan para pemimpin dunia seperti Pangeran Akihito dan Ratu Michiko, serta Raja Norodom Sihanouk, dan Ratu Sirikit. Waktu SMA, saya ikut program pemerintahan Soekarno yang mengajak para seniman untuk memperkenalkan budaya kesenian Tanah Air kepada dunia dengan tampil di beberapa negara di benua Eropa, Asia dan Amerika.
Mengapa memilih menari? Mungkin karena bakat. Saya tinggal di sebuah desa yang memiliki banyak seniman tari. Ayah menurunkan bakat seni yang didapatkannya dari kakek saya, Anak Agung Anglurah Djelantik, raja terakhir Karangasem, yang dikenal sangat mencintai seni dan arsitektur. Kakek pula yang memperkenalkan saya kepada seni menari, dan memanggil guru tari terbaik pada waktu itu, seperti Bagus Bongkasa dan Gusti Biang Sengog.
Pada tahun 1965, saya memutuskan meneruskan studi di Fakultas Kedokteran di Bandung (1965), dan berhasil lulus lalu berprofesi sebagai dokter ahli telinga, hidung dan tenggorokan (THT). Memasuki usia pensiun, saya kemudian dipercaya menjabat pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Hingga saya memiliki tiga cucu, saya sering diajak untuk mengikuti kongres tingkat dunia. Contohnya saat ini, saya dipercaya mewakili WHO di New Delhi dan Jenewa, untuk membahas masalah gangguan pendengaran di dunia.
Saya mendirikan sekolah tari Ayu Bulan Dance pada 1992. Karena, tari akan punah jika tidak ada yang menarikannya lagi. Tari akan hidup bila masih ada masyarakat yang mendukungnya, memesannya untuk ditarikan, menyenanginya, mempelajarinya. Tari itu tidak diam. Tari itu memiliki pakem yang mesti kita jaga, namun agar tari menjadi berkembang, perubahan diperlukan supaya tari tersebut tetap disenangi hingga saat ini.
Saya kemudian mengajak teman-teman seperti I Made Bangdem, Wayan Dibya, Ketut Arini untuk menuangkan sejarah Tari Legong yang dimulai dari kajian lontar hingga panggung masa kini ke dalam buku berjudul Tari Legong. Saya sampai pergi ke Tropenmuseum di Amsterdam, dan World Museum di Wina, Austria, untuk mencari literatur dan foto Tari Legong kuno.
Cita-cita saya yang belum terlaksana adalah mendirikan museum seni yang mampu memperlihatkan kepada dunia betapa ragam dan kayanya dunia seni pertunjukan kita terutama senitari. Semangat inilah yang menjaga gairah saya untuk tetap berkarya hingga saat ini.
Bagi saya, penciptaan tari bukan hanya untuk hiburan semata namun untuk menggambarkan kesadaran masyarakat itu sendiri. Misalnya kebanggaan, sejarah bangsa, terutama kecintaan kita kepada yang Maha Kuasa. Jadi, menari adalah bagian dari kehidupan, ekspresi diri dari kehidupan itu sendiri. Jadi, luar dan dalam di tari itu menjadi satu.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah