Beredarnya vaksin palsu baru-baru ini sangat menggemparkan. Banyak orang tua cemas akan dampaknya pada anak-anak mereka.
Beredarnya vaksin palsu tak hanya menunjukkan lemahnya pengawasan pengadaan obat di Indonesia, tapi juga menunjukkan bahwa perlindungan anak masih belum maksimal. Instansi kesehatan bernama puskesmas atau rumah sakit sebagai pihak yang dipercaya masyarakat untuk melindungi anak dari penyakit, justru tidak dapat menjamin.
Ulasan tentang bahaya vaksin palsu sudah banyak dilakukan dan kita dengan mudah mengakses. Terasa melegakan karena vaksin palsu yang sudah telanjur diberikan kepada anak-anak tidak akan memberi dampak buruk di kemudian hari. Tetapi sebagai ibu, saya tidak hanya memandang ada tidaknya dampak buruk pada anak saya. Saya justru menghitung hidden cost-nya.
Vaksin palsu dipatok dengan harga Rp400.000. Memang terasa lebih murah. Tapi bila vaksin ini tidak memberi dampak apa pun, maka anak-anak penerimanya tetap mendapat peluang untuk terserang penyakit berbahaya. Kemungkinan terkena infeksi akibat pengadaan vaksin palsu yang tidak steril malah bisa dialami oleh anak-anak kita.
Indonesia memiliki pabrik vaksin, Bio Farma. Vaksin produksi pabrik ini sudah diakui WHO karena memiliki kualitas internasional. Dari 200 pabrik vaksin di seluruh dunia, hanya 30 pabrik yang diakui WHO. Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki vaksin kaliber internasional. Sebagai produsen vaksin kualitas internasional, Indonesia mengekspor vaksin ke 132 negara, dan termasuk 5 negara dominan pengekspor vaksin.
Meski begitu, vaksin impor juga beredar di Indonesia. Tak sedikit orang tua memilih vaksin impor yang menjanjikan ‘tanpa efek demam’ untuk anak-anaknya. Harganya memang lebih mahal. Dulu pemerintah punya program Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Pemerintah membagikan vaksin gratis untuk anak-anak kita lewat posyandu atau puskesmas. Vaksin yang diberikan kepada anak-anak kita adalah vaksin kualitas internasional yang dibuat di bawah pengawasan WHO dan diaudit oleh BPOM. Bukan vaksin abal-abal atau yang sudah kedaluwarsa. Tapi saya yakin, tidak semua ibu rela mengirimkan anaknya ke posyandu atau puskesmas untuk mendapatkan vaksin gratis.
Secara kasat mata, kemasan vaksin asli dan palsu sulit dibedakan. Yang paling bisa mengenali palsu atau tidak tentunya petugas kesehatan. Vaksin asli memiliki tanggal kedaluwarsa dan kode unik yang sama persis di kemasan pembungkus dan pada vaksin di dalam. Bila berbeda, itu pasti palsu. Demikian penjelasan Direktur Yayasan Pembedayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta, dokter di sebuah RS swasta di Jakarta.
[Baca juga tentang penyakit anak sebagai perokok pasif]