Korban bullying di masa kecil akan menjadi pem-bully kelak. Diena ingin memutus lingkaran ini.
Anak perempuan berseragam putih itu hanya terdiam di sudut dinding sebuah mal di kawasan Jakarta Pusat, Thamrin City. Suara keras dari teman-temannya yang juga berseragam sekolah, terdengar sahut menyahut mengejek. Tiba-tiba dua orang dari mereka maju ke depan dan menjambak rambutnya. Adegan selanjutnya, ia diminta bersujud, memohon ampun. Suara tawa pun kembali terdengar dengan keras.
“Ketika seseorang melakukan tindakan secara verbal, psikologis, dan fisik dengan tujuan untuk menyakiti orang lain, membuat orang lain merasa dirugikan, sakit hati maupun tersinggung, maka di situ sudah terjadi bullying. Korban serta pelaku bullying ketika tidak dihadapi dengan baik, akan berevolusi menjadi ancaman bagi siapa saja ketika mereka beranjak dewasa,” ujar Diena Haryana, aktivis anak dan pendiri Sejiwa Foundation.
Lahir pada 9 Februari 1959 di Madiun, Jawa Timur, anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan keluarga Jawa ini ternyata pernah di-bully pada waktu ia duduk di Sekolah Menengah Atas. Waktu itu, kakak-kakak kelasnya sering kali berkata kasar dan menyakiti hati. Kejadian serupa juga ia alami saat ia mulai menjalani karier dan merilis Business Dynamics.
“Dari sinilah saya pertama kali melihat realita bahwa bullying terjadi tidak hanya di perusahaanperusahaan dalam negeri namun juga di luar negeri,” ujar wanita, yang pernah bekerja untuk Bank HSBC, Aqua, dan beberapa hotel bintang lima di Jakarta ini.
Di korporasi, ternyata banyak masalah ditimbulkan oleh dua macam orang. Pertama, pemimpin agresif yang suka mengendalikan anak buahnya yang pasif, serta pemimpin yang pasif. Ia tidak berani bersuara dan mengambil keputusan hingga akhirnya dikendalikan oleh anak buahnya yang vokal. Hipotesis Diena kemudian mengungkapkan bahwa tingkah laku tersebut ternyata berawal dari perilaku bullying.
“Mereka yang masa kecilnya sering mengalami bullying, pada waktu dewasa juga akan menjadi seorang pem-bully. Korban bullying itu terbagi menjadi tiga jenis, yakni mereka yang melawan kembali (fight), mereka yang mencari pelarian (flight)— bisa melalui narkoba, minum-minuman keras, atau ke hal-hal yang positif, dan mereka yang menjadi depresi (freeze)—jadi pendiam, menyendiri bahkan bunuh diri,” lanjut Diena.
Dengan tekad kuat, pada Mei 2014, Diena membangun Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa)—sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, terutama upaya membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan fokus pada penanganan aksi bullying di masyarakat. Yayasan ini mengabadikan nama Amini karena ia simbol keluhuran dan kepedulian yang kuat pada pendidikan dan kualitas masyarakat. Ia seorang tokoh pendidik di Pekalongan, Jawa Tengah, yang sadar akan nilai-nilai untuk mempengaruhi orang lain.
“Mentor saya dr. Andrew Mellor, aktivis antibullying dan pendiri Antibullying Network dari Universitas Edinburgh, Skotlandia. Dari dia, saya belajar soal bahaya bullying yang ternyata juga terjadi di kota Skotlandia,” ungkap ibu dari Nadia Ayu Trigg ini.
Lewat Sejiwa, Diena mulai berkampanye soal bullying, bagaimana cara mencegah bullying, dan penanganan terhadap korban-korbannya. Bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Divisi Pendidikan dan Pembinaan Orang tua dan Keluarga, ia juga membuat video, buku, yang mengajak para guru untuk menjadi tenaga pengajar yang baik. Sejiwa dan Kemendikbud mengadakan pelatihan-pelatihan pengasuhan yang positif untuk para guru agar mampu mengendalikan emosi pada saat mengajar.
Dulu guru bisa mencubit, menjewer, membentak bahkan memukul, namun saat ini cara-cara seperti itu sudah tidak bisa digunakan lagi karena hal itu masuk ke dalam kekerasan. Di Indonesia ada sekitar 500 ribu sekolah, termasuk PAUD, SMK dan pesantren. “Bayangkan betapa sulitnya memberitahu guru untuk mengajar tanpa menggunakan kekerasan,” kata Diena.
Secara tidak disadari, bullying kerap terjadi justru di tempat yang seharusnya aman buat anak, yakni di tengah keluarga. Orang tua memiliki andil besar dalam mem-bully anaknya, baik secara verbal maupun fisik, atas nama ‘mendidik’ anak.
“Kasih sayang tidak hanya diberikan ketika anak-anak kita berbuat baik, namun juga tetap diberikan ketika mereka melakukan kesalahan. Jadi ketika kita menegur, anak harus tetap bisa merasakan kasih sayang kita. Sampaikan rasa kecewa kita dengan cara yang santun. Mendisiplinkan anak tanpa kekerasan, adalah tantangan terberat dalam upaya mencegah fenomena bullying di masyarakat,” kata Diena.
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Ina Juntak