Dari proses pencarian itu, Era memahami berbagai pesan tersembunyi di balik motif batik. Motif parang, misalnya, berkisah tentang Panembahan Senopati yang sedang bermeditasi di Parang Kusumo. Saat itu, sang panembahan melihat karang yang terempas ombak. Perlahan-lahan karang itu pun terkikis hingga berlubang.
“Karang itu bolong bukan karena kekerasan, tetapi justru karena kelembutan yang terus-menerus. Maknanya, seorang pemimpin harus membawa rakyatnya menuju puncak pencapaian, baik materi maupun spiritual, dengan cara yang lembut, bukan dengan kekerasan.”
Sejak sembilan tahun lalu Era mempelajari ilmu ma’rifat dalam tasawuf, sehingga merasa lebih dekat dengan Tuhan. Ia merasa sering diberi petunjuk, sehingga mudah memahami kondisi yang sedang terjadi. Kala ia sedang galau karena batik koleksi Iwan Tirta banyak ditiru di mana-mana, tiba-tiba ia menemukan sebuah tulisan Iwan Tirta yang membuat hatinya lebih tenang.
“Di situ Mas Iwan menulis, ‘Tujuan saya bikin batik bagus adalah untuk menginspirasi para pembatik.’ Okay, done! Jadi, aku nggak perlu marah-marah,” kisah Era. Apalagi, penjualan justru mengalami peningkatan. Saat itu Era menyadari bahwa rezeki masing-masing manusia sudah diatur. “Semakin kita memberi pelayanan, berkahnya justru makin banyak.”
Di sela-sela kesibukannya, Era menyempatkan diri terjun langsung menangani Asa Project yang digagasnya. Ia mengajarkan anak-anak untuk percaya pada kekuatan mimpi lewat aktivitas membuat dreambook.
“Kalau kita berpikir positif, kita akan attract something positive. Begitu juga sebaliknya. Kalau kita taruh gambar yang kita suka, fokus sama yang kita suka, mimpi itu akan lebih mudah diraih,” katanya berbagi rahasia.
Foto: Wiradhamma Putra
Pengarah visual: Siti H. Hanifiah
Rias wajah dan rambut: Ina Juntak