Di puncak kariernya sebagai news anchor, Ira memutuskan untuk berhenti dan merintis usaha sendiri. “Ternyata menjadi jurnalis is not in my blood. Tujuh tahun lebih menjadi jurnalis, cukuplah. Saya memang suka dunia komunikasi, tapi menjadi jurnalis terlalu menguras energi saya,” ujar wanita bernama lengkap Dwi Noviratri Koesno ini.
Di tahun 2004, sewaktu masih menjadi news anchor, ia mendirikan sebuah production house bernama Ira Koesno Productions, berkongsi dengan dua sahabatnya, Oktofin R.D.B dan Jovianna Riza. Dua tahun kemudian perusahaan ini berubah nama menjadi Ira Koesno Communications (IKComms).
Sebelum benar-benar terjun ke bisnis, Sarjana Akuntansi lulusan Universitas Indonesia ini melanjutkan studi Masternya di Inggris, di dua bidang sekaligus: Film and Television dari University of Bristol, dan Journalism International dari University of Westminster. “Semula saya pikir saya bisa menjalankan keduanya berbarengan, tapi ternyata saya nggak sanggup. Saya harus memilih, dan saya memilih bisnis,” katanya.
Ia menyadari bahwa nama besarnya melekat pada Liputan 6, dan ketika ia meninggalkan SCTV, ia pun menjadi bukan siapa-siapa.
“Jujur saja, awalnya memang sangat berat dan berdarah-darah. Apalagi saya juga harus memikirkan gaji karyawan—sesuatu yang nggak pernah saya pusingkan sewaktu masih jadi jurnalis. Tapi, Alhamdulillah, sejauh ini usaha kami berjalan lancar, meskipun tidak pernah melesat. Saat ini saya sedang mencari strategi yang tepat untuk melesatkan bisnis saya,” katanya—telapak tangan kanannya ia lesatkan ke atas seperti manuver pesawat tempur.
Ira mengakui, sikap perfeksionis dan idealisnya kerap bertabrakan dengan kepentingan bisnisnya. Antara lain, ia sering pilih-pilih klien. “Saya sudah committed tidak mau menerima klien perusahaan rokok—karena saya antirokok—dan alkohol. Saya juga selama ini belum mau menerima klien dari kalangan politik, misalnya menjadi tim pemenangan paslon di pilkada. Padahal permintaan untuk itu sangat banyak,” ujarnya.
Kenapa? Ia menggeleng. “Entahlah…. Saya aktif mengamati politik. Tapi bagi saya politik itu soal hitam dan putih, sementara real politic selalu bermain di wilayah abu-abu. Itu yang belum bisa saya lakukan, bermain di wilayah abu-abu. Tapi, mungkin setelah ini saya akan berpikir ulang,” katanya, serius.
Usia yang sudah kepala empat ternyata tidak menjadi beban bagi Ira. Ia terlihat santai saja, bahkan sering menjadikan soal usia itu bahan bercandaan. “Saya sering mendapat titipan salam dari murid-murid pelatihan saya, yang umurnya twenty something. Bukan salam dari mereka, tapi dari ayah atau ibu mereka yang seumuran saya. Mereka merasa excited anak mereka dibimbing oleh saya. Sementara anaknya sendiri tidak kenal siapa saya, ha ha ha.…”
Di lingkungan kantornya, juga dalam berbagai pelatihan media yang ia selenggarakan, tidak ada panggilan “bu” atau “pak” terhadap pengajar. “Awalnya, sih, mereka memanggil saya Bu Ira. Eeiiit… di sini nggak boleh ada yang manggil ibu atau bapak! Semua harus dipanggil kakak, supaya saya merasa muda terus…,” katanya, kembali tergelak.
Meskipun tidak lagi tampil rutin di layar TV—sesekali ia masih tampil di beberapa program pendidikan—Ira tetap rajin merawat kulit dan tubuhnya. Untuk kulit, ia memilih perawatan ke dokter kulit. “Soalnya kulit saya sensitif.”
Untuk menjaga berat badan, ia berdiet dengan meminimalisasi asupan karbohidrat. “Saya bukan sok-sokan diet, tapi memang diet beneran.” Selain punya bakat gemuk dari sang ibu, berat badannya pernah kebablasan karena tak disiplin berdiet.
“Sewaktu pulang dari Inggris dulu, berat saya sempat melar sampai 70 kilo lebih. Sejak kecil saya memang nggak terlalu suka makan nasi, tapi celakanya saya sangat doyan roti. Jadi, diet saya lebih menghindari karbo dari roti ketimbang nasi,” ujar wanita bertinggi badan 168 cm ini.
Ia juga tetap mempertahankan gaya rambut panjangnya. “Dulu waktu saya masih jadi news anchor, bos saya pernah meminta saya potong rambut jadi pendek supaya terlihat lebih profesional. Saya pun potong rambut, dan terbukti memang nggak pantas,” katanya sambil mematut tata rambutnya di cermin. “Eh, nanti rambut saya di dekat telinga tolong di-Photoshop, ya. Supaya ubannya nggak kelihatan. Saya nggak sempat ngecat rambut, nih,” kata Ira lagi, yang mengaku tak mau keluar rumah tanpa… maskara!