Bekerja itu rasanya menyenangkan. Kita dapat mengaktualisasi diri dan mendapat pengakuan karenanya. Namun tak perlu juga melakukanya tanpa batas.
Seorang teman bercerita bahwa ia baru saja pindah tempat kerja dengan posisi yang ia inginkan.
Jam kerjanya pun lebih fleksibel. Tapi, ia belum punya tim padahal pekerjaannya mencakup regional Asia Tenggara, bukan hanya Indonesia. Lalu bagaimana bila ia ada keperluan mendadak dan tidak bisa masuk kerja? Apakah ia bisa cuti untuk berlibur bersama keluarga? Siapa yang akan menggantikannya di waktu itu? Pertanyaan-pertanyaan itu langsung terlintas dalam pikiran saya.
“Saya masih akan cek e-mail. Kalau ada apa-apa, saya masih bisa handle pekerjaan,” begitu kata teman saya kepada atasannya via Skype saat ia hendak cuti. Jawabannya? “Don’t worry about it, have fun!”
Begitu sering saya, kemungkinan besar Anda juga, mendengar kalimat yang diucapkan teman saya dari orang-orang di sekitar hingga saya tidak menyadari ada yang salah dengan hal itu. Permintaan untuk tetap membuka e-mail atau pesan di aplikasi WhatsApp soal pekerjaan selama kita cuti. Padahal, ini adalah waktunya kita untuk lepas sejenak dari pekerjaan, dan mengisi energi agar dapat kembali bekerja dengan ide-ide baru.
Saya menyadari hal itu, tapi anehnya ketika hal itu terjadi pada saya, secara otomatis saya akan
melakukannya—menanggapi e-mail selama cuti, dan menganggap hal itu normal-normal saja untuk dilakukan.