Principal & Art Director Namarina yang berusia 56 tahun ini bicara soal masa depan Namarina dan balet di Indonesia.
Namarina didirikan oleh ibu saya, almarhumah Nanny Lubis, sebagai sekolah balet pertama di Indonesia. Awalnya, muridnya hanya lima, lalu terus bertambah, karena dulu memang belum ada sekolah senam dan balet. Saya ikut terjun menari balet tanpa ada paksaan. Mungkin karena dulu studionya ada di rumah kami. Setiap hari saya melihat orang datang untuk berlatih balet, mendengar suara piano. Akhirnya saya minta pada ibu untuk ikut belajar. Ibu menyetujui, tapi di kelas saya adalah muridnya, tidak berbeda dari yang lain.
Selesai SMP, ibu menawari untuk melanjutkan sekolah tari di Inggris. Saya menyelesaikan SMA di sana dan melanjutkan di Royal Academy of Dance. Saya lulus tahun 1981 sebagai penari tingkat mahir dan guru balet tingkat mahir. Pulang ke Indonesia, saya langsung mengajar di Namarina hingga kini.
Menari balet membawa manfaat banyak untuk saya. Yang pertama adalah disiplin. Ini membuat saya memiliki ketangguhan dan semangat untuk mengerjakan apa pun sampai tuntas. Ada that extra mile untuk mendorong diri saya mengeluarkan usaha yang maksimal dalam setiap upaya. Contoh mudahnya, urusan makan. Untuk para penari profesional yang sudah tergabung dalam Namarina Youth Dance, kualitas makan harus mereka jaga. Ini berpengaruh ke daya tahan mereka dan juga kekuatan otot. Dietnya berbeda dari orangorang yang diet untuk menurunkan berat badan.
Pola hidup sehat ini masih terus saya jalani. Tentunya dengan adanya perubahan hormon, badan saya tidak bisa lagi seperti saat saya aktif menari dulu. Yang terpenting, saya banyak minum air putih dan berhenti makan sebelum kenyang. Balet juga mendidik saya untuk tepat waktu dan selalu kreatif. Bagaimana saya berlatih untuk merangkai gerakan yang begitu banyak dengan kordinasi dan pola yang matematis. Selain itu, saya perlu memikirkan keindahannya. Menari balet memang bukan hanya menggerak-gerakkan badan.
Ada rasa takut ketika saya memimpin Namarina secara tunggal. Nanny Lubis punya nama besar. Tapi saya punya modal, ibu sudah menyekolahkan saya di bidang ini dan telah saya selesaikan dengan baik. Saya berpikir, Namarina adalah titipan, jangan diporakporandakan. Kerikil-kerikil saya temui juga. Ada yang underestimate saya. Tapi ketika saya bisa buktikan saya bisa seperti ibu saya atau bahkan lebih baik, mereka terima juga. Alhamdulillah, hingga kini Namarina masih terus eksis.
Ke depannya, saya ingin Namarina jadi institusi yang profesional. Bisa dijalankan oleh siapa saja yang punya kriteria pas. Saya tidak punya anak perempuan. Kalaupun punya, belum tentu kami punya passion yang sama. Saya merasa sangat bersyukur karena bekerja di bidang yang saya sukai. Setiap pekerjaan selalu ada up and down, tapi semua itu terbayar dengan passion yang selalu saya rasakan ketika bekerja.
Moto ibu saya dalam bekerja, di bidang apa pun harus disiplin, jujur, dan kerja keras. Itu yang saya terus jalankan. Tantangan yang saya hadapi dengan Namarina zaman ibu dulu tentu berbeda. Dulu Namarina adalah pemain tunggal, tidak ada saingan. Sekarang, sekolah balet semakin banyak. Saya dan tim juga harus memikirkan cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sekolah. Ini tantangan untuk kami.
Seni perlu mendapat porsi tambahan di kehidupan masyarakat Indonesia. Khusus balet, saya ingin balet mempunyai kontribusi dalam hidup generasi muda. Bukan hanya sebagai pelakunya tapi juga pemerhati. Seni penting bagi kehidupan. Tanpa seni, menurut saya, hidup akan hampa. Jika diibaratkan seperti pohon, diberi pupuk terus tapi tidak diberi air. Seni akan membuat kita punya hati nurani yang baik agar bangsa dan negara ini menjadi lebih baik.
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah