“Gue orang Batak, jalurnya bukan belajar desain,” begitu celoteh Caroline Siahaan ketika kami bertemu. Globalisasi dan modernisasi memang sering digembar-gemborkan. Namun pengaruh kultural pada masyarakat Indonesia begitu kuatnya sehingga lazim rasanya mendengar ungkapan di atas. Ada angapan umum yang langsung terbersit di benak kita ketika mengetahui asal seseorang. Misalnya, orang dari suku Batak itu adalah pengacara, suku Minang adalah pedagang, atau semua orang Bali berjiwa seni.
Oline, panggilan akrab Caroline, adalah salah satu ‘korban’ stereotyping ini. Selepas SMA, ia melanjutkan kuliah mengambil jurusan Teknik Sipil di Universitas Parahyangan, Bandung. Padahal semasa di bangku sekolah, ia menemukan kesenangan setiap kali melihat majalah interior dan fashion. Namun malah tersasar menjadi sarjana teknik sipil. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya, juga di bidang teknik, kali ini teknik lingkungan dan kemudian bekerja di sebuah perusahaan minyak.
Orang sering sulit menggambarkan apa itu passion dengan kata-kata. Padahal, ini semudah memahami perasaan kita sendiri. “Waktu kerja kantoran, bangun pagi saja rasanya tak semangat,” kata Oline. Beda dengan yang ia rasakan setelah membangun label fashion Oline Workrobe. Padahal kerjanya sama kerasnya. “Mungkin jika sekarang masih bekerja di situ ketika ekonomi sedang surut begini, saya yakin saya yang paling dulu dipecat”. Di suatu titik kehidupannya, ia tersadar, ia tak mungkin terus-terusan bekerja tanpa semangat dan merasa tanpa arahan seperti ini. Satu atau dua tahun lagi mungkin rasa muaknya akan mencapai puncak. Bisa berabe kalau itu terjadi. Sebuah ide terbersit di pikirannya, jangan-jangan bisa nih kalau gue nekat sekolah lagi.
“Boleh nggak sekarang saya mengikuti kata hati?” Kira-kira ini ucapan Oline kepada orang tuanya. Ia sedang memberitahu mereka ia ingin berhenti bekerja dan belajar desain. Mereka terperangah, mengapa harus berhenti dari pekerjaannya yang bagus? Dan dengan alasan untuk belajar sesuatu yang sama sekali baru. Usianya kan sudah bukan belasan lagi. Tapi tekad Oline sudah bulat. Ia langsung mengambil sekolah fashion design selama dua tahun. Singapura ia pilih sebagai tempatnya menimba ilmu.
Kembali ke bangku sekolah bukan tanpa hambatan. “Kayaknya gue lebih tua dari gurunya,” ujar Oline sambil tertawa. Ia cuek saja. Toh ia tetap bisa mencapai prestasi. Waktu sekolah, Oline merasa kekuatannya terletak di desain baju pria. Bersama kelompoknya, ia memenangkan desain pakaian yang diadakan Club Med. Hadiahnya, mereka diterbangkan ke Bangkok untuk menginap di sana.
This is the point of no return for Oline. Ini pertaruhan terbesarnya. Semua sudah saya tinggalkan, ia berkata. Ketika menghadapi kesulitan menjadi perancang busana pemula, ia sering berandai-andai. Ternyata sulit ya, apakah saya harus kembali bekerja kantoran lagi? Ia takut jika ini terjadi. Dampaknya, ia bekerja lebih keras lagi mewujudkan mimpinya.
Cara bicara Oline ceplas-ceplos, membuat saya merasa langsung akrab dengannya. Padahal itu kali pertama kami bertemu. Ia mengaku pada dasarnya ia tidak percaya diri. Karena itu, ia merasa profesi sebagai perancang busana sangat cocok. Anggapan awalnya, fashion designer hanya perlu ada di belakang layar, tidak perlu tampil. Orang hanya menikmati seni yang ia buat saja. “Ternyata salah ya,” senyum mengembang di wajahnya diikuti tawa.
Oline sangat mengagumi Biyan, perancang Indonesia kenamaan. Kebetulan ia satu gereja dengan Biyan. “Senang melihatnya,” kata Oline. “Orangnya baik, kalem”. Dan tentunya, karena profesi Biyan adalah profesi impiannya. Walau belum terbayang gambarannya seperti apa, target pasar, atau bahkan strategi pemasaranya, Oline bermimpi dapat membuat brand fashion seperti idolanya itu selepas masa sekolahnya.
“Pulang ke Indonesia yang saya kejar adalah Lomba Perancang Mode karena itu lomba paling presitigous,” tangannya terkepal ketika berbicara tentang hal ini. Seolah-olah ingin menunjukkan itulah tekad bulatnya. “Tapi tidak masuk”. Sempat ia merasa sedih karena ini. Kontemplasi mencari penyemangatnya pun dilakukannya. Masa itu diibaratkannya seperti proses pencarian jati diri. “Agak depresi juga. Biyan atau Valentino bisa mendesain baju perempuan yang sangat feminin dan cantik. Masa saya yang perempuan tidak bisa?”.
Oline pun curhat kepada idolanya. Ia teringat nasehat yang diberi Biyan kala itu. “Bikin brand itu tidak gampang,” kata Biyan kepada Oline kala itu, “Saya saja mencari tukang pola satu tahun lamanya”. Semua perlu proses trial and error. Tapi jika niat kita kuat, pasti kita akan menemukan jalan. Fashion designer juga manusia. Ternyata Biyan yang dianggapnya sebagai maestro di dunia fashion pun mengalami apa yang Oline alami di awal bisnisnya. “Lucu ya, setiap kali merasa down, ada saja orang-orang yang saya kagumi memberikan semangat,” katanya.
Pada 2009, Oline membangun Oline Workrobe. Mulai dengan dua karyawan saja. Jenis pakaian ini dipilihnya dengan alasan yang sederhana. Saat masih ngantor, ia sering merasa kesulitan mencari baju kerja yang agak nyentrik tapi tetap representable. Satu potong pakaian karya Oline dapat terdiri dari delapan jenis bahan dan warna. Bentuknya pun bermacam-macam. Motif dan warna saling bertabrakan namun bisa menciptakan kesatuan yang harmonis. Saya mengira-ngira mungkin wanita yang akrab dipanggil Oline ini seperti sedang bermain puzzle saat mencipta. “Dulu semasa sekolah dan bekerja, saya sering berinteraksi dengan bentuk-bentuk geometris. Sekarang coba saya tuangkan ke sesuatu yang wearable,” Oline menjelaskan. Walau demikian, ia memiliki kekaguman pada perancang-perancang yang dapat menghasilkan kreasi outstanding dengan satu warna saja. “Mungkin otak gue yang nggak sampe," kelakarnya.
Foto: Dennie Ramon, Oline Workrobe
Baca selanjutnya: Begini Cara Oline Mengembangkan Oline Workrobe
Oline, panggilan akrab Caroline, adalah salah satu ‘korban’ stereotyping ini. Selepas SMA, ia melanjutkan kuliah mengambil jurusan Teknik Sipil di Universitas Parahyangan, Bandung. Padahal semasa di bangku sekolah, ia menemukan kesenangan setiap kali melihat majalah interior dan fashion. Namun malah tersasar menjadi sarjana teknik sipil. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya, juga di bidang teknik, kali ini teknik lingkungan dan kemudian bekerja di sebuah perusahaan minyak.
Orang sering sulit menggambarkan apa itu passion dengan kata-kata. Padahal, ini semudah memahami perasaan kita sendiri. “Waktu kerja kantoran, bangun pagi saja rasanya tak semangat,” kata Oline. Beda dengan yang ia rasakan setelah membangun label fashion Oline Workrobe. Padahal kerjanya sama kerasnya. “Mungkin jika sekarang masih bekerja di situ ketika ekonomi sedang surut begini, saya yakin saya yang paling dulu dipecat”. Di suatu titik kehidupannya, ia tersadar, ia tak mungkin terus-terusan bekerja tanpa semangat dan merasa tanpa arahan seperti ini. Satu atau dua tahun lagi mungkin rasa muaknya akan mencapai puncak. Bisa berabe kalau itu terjadi. Sebuah ide terbersit di pikirannya, jangan-jangan bisa nih kalau gue nekat sekolah lagi.
“Boleh nggak sekarang saya mengikuti kata hati?” Kira-kira ini ucapan Oline kepada orang tuanya. Ia sedang memberitahu mereka ia ingin berhenti bekerja dan belajar desain. Mereka terperangah, mengapa harus berhenti dari pekerjaannya yang bagus? Dan dengan alasan untuk belajar sesuatu yang sama sekali baru. Usianya kan sudah bukan belasan lagi. Tapi tekad Oline sudah bulat. Ia langsung mengambil sekolah fashion design selama dua tahun. Singapura ia pilih sebagai tempatnya menimba ilmu.
Kembali ke bangku sekolah bukan tanpa hambatan. “Kayaknya gue lebih tua dari gurunya,” ujar Oline sambil tertawa. Ia cuek saja. Toh ia tetap bisa mencapai prestasi. Waktu sekolah, Oline merasa kekuatannya terletak di desain baju pria. Bersama kelompoknya, ia memenangkan desain pakaian yang diadakan Club Med. Hadiahnya, mereka diterbangkan ke Bangkok untuk menginap di sana.
This is the point of no return for Oline. Ini pertaruhan terbesarnya. Semua sudah saya tinggalkan, ia berkata. Ketika menghadapi kesulitan menjadi perancang busana pemula, ia sering berandai-andai. Ternyata sulit ya, apakah saya harus kembali bekerja kantoran lagi? Ia takut jika ini terjadi. Dampaknya, ia bekerja lebih keras lagi mewujudkan mimpinya.
Cara bicara Oline ceplas-ceplos, membuat saya merasa langsung akrab dengannya. Padahal itu kali pertama kami bertemu. Ia mengaku pada dasarnya ia tidak percaya diri. Karena itu, ia merasa profesi sebagai perancang busana sangat cocok. Anggapan awalnya, fashion designer hanya perlu ada di belakang layar, tidak perlu tampil. Orang hanya menikmati seni yang ia buat saja. “Ternyata salah ya,” senyum mengembang di wajahnya diikuti tawa.
Oline sangat mengagumi Biyan, perancang Indonesia kenamaan. Kebetulan ia satu gereja dengan Biyan. “Senang melihatnya,” kata Oline. “Orangnya baik, kalem”. Dan tentunya, karena profesi Biyan adalah profesi impiannya. Walau belum terbayang gambarannya seperti apa, target pasar, atau bahkan strategi pemasaranya, Oline bermimpi dapat membuat brand fashion seperti idolanya itu selepas masa sekolahnya.
“Pulang ke Indonesia yang saya kejar adalah Lomba Perancang Mode karena itu lomba paling presitigous,” tangannya terkepal ketika berbicara tentang hal ini. Seolah-olah ingin menunjukkan itulah tekad bulatnya. “Tapi tidak masuk”. Sempat ia merasa sedih karena ini. Kontemplasi mencari penyemangatnya pun dilakukannya. Masa itu diibaratkannya seperti proses pencarian jati diri. “Agak depresi juga. Biyan atau Valentino bisa mendesain baju perempuan yang sangat feminin dan cantik. Masa saya yang perempuan tidak bisa?”.
Oline pun curhat kepada idolanya. Ia teringat nasehat yang diberi Biyan kala itu. “Bikin brand itu tidak gampang,” kata Biyan kepada Oline kala itu, “Saya saja mencari tukang pola satu tahun lamanya”. Semua perlu proses trial and error. Tapi jika niat kita kuat, pasti kita akan menemukan jalan. Fashion designer juga manusia. Ternyata Biyan yang dianggapnya sebagai maestro di dunia fashion pun mengalami apa yang Oline alami di awal bisnisnya. “Lucu ya, setiap kali merasa down, ada saja orang-orang yang saya kagumi memberikan semangat,” katanya.
Pada 2009, Oline membangun Oline Workrobe. Mulai dengan dua karyawan saja. Jenis pakaian ini dipilihnya dengan alasan yang sederhana. Saat masih ngantor, ia sering merasa kesulitan mencari baju kerja yang agak nyentrik tapi tetap representable. Satu potong pakaian karya Oline dapat terdiri dari delapan jenis bahan dan warna. Bentuknya pun bermacam-macam. Motif dan warna saling bertabrakan namun bisa menciptakan kesatuan yang harmonis. Saya mengira-ngira mungkin wanita yang akrab dipanggil Oline ini seperti sedang bermain puzzle saat mencipta. “Dulu semasa sekolah dan bekerja, saya sering berinteraksi dengan bentuk-bentuk geometris. Sekarang coba saya tuangkan ke sesuatu yang wearable,” Oline menjelaskan. Walau demikian, ia memiliki kekaguman pada perancang-perancang yang dapat menghasilkan kreasi outstanding dengan satu warna saja. “Mungkin otak gue yang nggak sampe," kelakarnya.
Foto: Dennie Ramon, Oline Workrobe
Baca selanjutnya: Begini Cara Oline Mengembangkan Oline Workrobe