Memuakkan dan melelahkan. Dua kata itu rasanya paling tepat untuk menggambarkan kondisi politik di negeri kita belakangan ini.
Kalau dirunut ke belakang, hal itu sudah terjadi sejak pertarungan Pemilihan Presiden 2014, yang akhirnya membuat masyarakat kita seolah terbelah menjadi dua kubu.
Dendam lama itu kembali tersulut pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Bahkan jadi berlarut-larut dan kusut masai, dengan ikut campurnya isu-isu SARA.
Saling hujat dan serang dilakukan oleh masing-masing kubu pendukung, khususnya di media sosial. Kita pun ‘panas’ dan naik darah. Ada yang membalas, ada yang menahan diri, ada yang menarik diri, ada pula yang akhirnya memutus tali silaturahmi.
Celakanya, perseteruan itu tidak lihat-lihat orang. Ketegangan dan perang dingin pun terjadi antara suami dan istri, anak dan orang tua, antar saudara kandung, antar sahabat, antar kolega, bahkan dengan orang yang tak kita kenal sama sekali.
Layaknya polusi yang datang dari suara klakson dan asap knalpot kendaraan, kondisi seperti ini seolah sudah melebur ke dalam aktivitas keseharian kita, sehingga akhirnya dianggap sebagai hal yang biasa. Padahal, sesungguhnya hal ini sama sekali tidak sehat, bahkan sangat berbahaya.
Emosi vs akal sehat
Pada dasarnya manusia sangat mudah terbawa emosi, apalagi bila sedang di dunia maya. Itu manusiawi, karena manusia adalah makhluk emosional.
“Apalagi sekarang kita hidup di zaman ketika segala bentuk emosi sangat mudah menular dengan adanya internet dan media sosial. Setiap hari emosi kita dibombardir dengan berbagai kontroversi dan konten-konten provokatif,” ujar Dodi Ambardi, Direktur dan peneliti di Lembaga Survei Indonesia.
Tak jarang kita pun lalu terbawa arus, ikut-ikutan jadi gemas, geram, bahkan—sadar maupun tidak—ikut menyerang dan menyebarkan konten-konten provokatif.
Ratih Ibrahim, psikolog dari Personal Growth, membenarkan bahwa dorongan emosi juga membuat sebagian orang mencari informasi bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mencari pembenaran atas apa yang sudah mereka asumsikan.
Yang mereka lakukan hanya mencari pelampiasan yang akan berujung kepada perpecahan. Mencipta konflik tak hanya kepada kolega, teman, bahkan kepada saudara sendiri.
Ratih mengatakan, nasihat agar kita menahan diri supaya tidak terperosok lebih jauh ke dalam konflik memang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Menerima ajakan melakukan rekonsiliasi, apalagi bila ajakan ini datangnya dari pihak ‘musuh’, pastinya terdengar seperti lelucon yang tak lucu dan rasanya mustahil bisa dilakukan.
Emosi memang bisa memicu irasional. Bayangkan saja, kita sama sekali tidak kenal secara pribadi dengan Basuki Tjahaya Purnama, Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan, atau Sandiaga Uno. Tapi, kita rela tarik urat, berkelahi, bahkan mempertaruhkan nyawa demi membela mereka. Emosi yang tidak dikelola dengan baik memang bisa menciptakan fanatisme yang tak sehat. Dan tak masuk akal.
Namun, selama ada niat baik, tentunya kita bisa mengembalikan hubungan ke kondisi semula, ke masa-masa sebelum terjadinya konflik. “Yang terpenting ada niatnya dulu, karena memang harus ada yang berinisiatif memadamkam api (ego) tersebut—dari pihak mana pun. Yang pasti, awalnya akan ada rasa canggung, juga gengsi, setelah lama diam-diaman. Tapi biasanya rasa itu pelan-pelan akan hilang—tentunya asalkan tidak diungkit-ungkit lagi,” ujar Ratih.
Syarat kedua adalah memilah-milah informasi yang masuk. Memang tak mudah memilah antara fakta dan kebohongan di era ‘tsunami informasi’ seperti sekarang ini. Apalagi, informasi palsu memang kerap didesain untuk memanipulasi emosi pengguna internet dan menyisihkan rasionalitas.