Apalah arti kata-kata indah penuh motivasi saat berhadapan dengan kenyataan hidup? Bagi nenek saya, hidup lebih baik dihadapi dengan “Sak mantepe ati, tergantung naluri dan kata hati.”
Mendiang nenek saya, dalam urusan masak memasak, tak pernah percaya pada resep. Setiap kali ditanya apa resep masakannya yang sedap-sedap itu, jawabannya selalu hanya komposisi bahan.
Semua data bumbu diberikan, tidak ada yang dirahasiakan. Takarannya kira-kira. Bagaimana batas kira-kiranya? “Sak mantepe ati (semantapnya hati),” jawabnya kalem.
Maka melihatnya memasak adalah gerak tangan menabur bumbu yang plang-plung sesuka hati. Ajaib, hasilnya adalah hidangan dengan rasa yang stabil. Tak pernah keasinan atau kemanisan, apalagi kurang bumbu. Selalu pas, sedap mantap membelai lidah.
Maka ketika mewarisi buku resep dari beliau, betapa kami, cucu-cucunya, menjadi gugup dan mati kutu. Kami adalah generasi yang telanjur percaya pada hitungan matematis yang konkret. Bahwa segala sesuatu haruslah terukur, diperhitungkan dengan cermat demi mendapatkan hasil dengan presisi sempurna dan konstan.
Kami pernah memperlihatkan resep-resep yang ditampilkan di berbagai buku masak terbitan terbaru. Tapi Nenek selalu menanggapinya dengan tersenyum. “Pasti jadinya cemplang (hambar),” katanya yakin. “Resep itu hanya teori, seolah gampang tapi kalau dilakoni, dadine bedo kabeh (kalau direalisasikan jadinya akan beda). Realita tak semudah teori, Nak,” tambahnya, menghibur sekaligus menggoda.
Kenyataannya, hidup memang tak semudah kata. Namun berlawanan dengan keyakinan Nenek, di era yang optimistis ini, ketika situs pencari memungkinkan kita menemukan apa saja dalam hitungan detik dan segala sesuatu seolah terbuka untuk dipelajari, bisnis pelatihan justru tumbuh subur.
Di masa lalu program kursus hanya seputar mengajarkan keterampilan, seperti memasak, merias wajah, mengetik, menjahit, kursus bahasa asing. Tujuannya untuk membekali diri dengan keterampilan teknis untuk mencapai karier yang lebih baik di masa depan.
Di masa kini, program pelatihan ditawarkan dengan sasaran yang lebih tinggi. Misalnya, menjanjikan orang menjadi entrepreneur sukses. Maka kerap kita temukan iklan pelatihan menjadi investor properti atau menjadi pengusaha impor. Bahkan ada seminar tentang mengelola utang dengan memanfaatkan kartu kredit. Pelatihan tersebut menjanjikan strategi realisasi keberhasilan usaha tanpa modal, tanpa risiko. Hebat nian!
Maka berbondonglah para pemburu mimpi membayar tiket seminar yang biasanya digelar di hotel-hotel berbintang. Para instruktur baru bermunculan, dan biasanya berlanjut dengan penerbitan buku dan tampil di televisi. Dan tanpa disadari, antusiasme (dan fanatisme) para peserta telah menjadi lahan bisnis baru bagi mereka.
Saya pernah ditugaskan kantor untuk mengikuti salah satu seminar macam itu. Tiket dijual melalui salah satu organisasi sosial—dengan keharusan membeli atas dalih sumbangan. Ternyata satu jam pertama diisi dengan cerita biografi sang instruktur, plus gerakan olahraga favoritnya yang menjadi pemicu semangat dan penghilang stres, yang dia yakini menjadi kunci suksesnya. Oalaaah….
Para instruktur ini, dengan beberapa testimoni dari murid-murid mereka, seolah menjadi bukti kesuksesan dan kemanjuran strategi teorinya. Padahal, pada kenyataannya, kita tidak pernah menemukan mereka sebagai pengusaha ataupun ahli ekonomi yang mumpuni. Mereka tetaplah seorang instruktur yang singgah sekejap di berbagai kota, memberi seminar pendek satu jam, lalu pergi lagi, meninggalkan para peserta yang termangu-mangu dalam kebingungan.
Namun siapa sangka, fakta ‘hidup tak semudah kata’ ternyata pada akhirnya harus dialami pula oleh para instruktur (baca: Motivator) yang menjadikan kata-kata berbalut keajaiban inspirasi sebagai komoditi bisnis mereka. Deretan kalimat sejuk nan bijak dari mereka seolah menjadi katarsis yang ampuh untuk menyelesaikan segala perkara hidup.
Sebuah kota di Jawa Barat sempat mengalami kemakmuran luar biasa karena menjadi tujuan wisata religius. Sayangnya kemakmuran ini surut seketika saat sang tokoh panutan memilih hidup berpoligami, sehingga nasihat-nasihat spiritualnya tak lagi bertuah, karena dianggap kontradiktif dengan perilakunya.
Dan belakangan ini kita menyaksikan kembali seorang motivator ulung dan “super”—yang selama ini berhasil memesona banyak orang—tertonjok oleh kata-kata indahnya sendiri, setelah masa lalunya terkuak. Nasihat-nasihatnya tentang kehidupan yang selama ini begitu bijaksana dan powerful ternyata hanya berlaku di panggung dan untuk orang lain. Tak berlaku untuk dirinya sendiri. Para pengagumnya syok berat mendapati tokoh panutan mereka ternyata sanggup mengingkari keberadaan anaknya sendiri. Betapa ironis….
Nenek saya tak pernah percaya teori. Keyakinannya mungkin terdengar kurang optimistis untuk kita—hidup tak semudah teori. Namun, kalimat itu rupanya tak pernah menjadi usang. Karena apa yang tertulis, yang dirumuskan, biasanya akan selalu berbeda ketika dihadapkan pada realita penerapan, sekalipun teori itu berkualitas super. Bagi nenek saya, hidup itu jauh lebih baik bila dihadapi dengan “sak mantepe ati, tergantung naluri dan kata hati.”