Selama ini kekuasaan selalu lebih identik dengan pria, sedangkan wanita dianggap lebih peduli terhadap orang lain. Anggapan tersebut, menurut psikolog Alexander Sriewijono dari Daily Meaning, ‘mentah’ dengan sendirinya seiring dengan perkembangan zaman. “Gender bukanlah faktor penentu utama. Banyak wanita sekarang yang juga berambisi menduduki kursi pemimpin,” ujarnya. Sekalipun setiap pemimpin tidak selalu didominasi oleh keinginan berkuasa.
Kegigihan seseorang untuk meraih posisi nomor satu didasari oleh kebutuhannya. Psikolog asal Amerika Serikat, David McClelland, menjelaskan bahwa kebutuhan seseorang diperoleh dan dibentuk dari pengalamannya. Kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: kebutuhan akan prestasi (achievement), kekuasaan (power), dan afiliasi (affiliation). Motivasi dan ukuran keberhasilan seseorang dalam bekerja akan dipengaruhi oleh tiga kebutuhan tersebut.
McClelland meramalkan orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi akan berpotensi menjadi pemimpin. Meskipun ia juga cenderung menetapkan tuntutan tinggi kepada stafnya (demanding). Orang yang termasuk dalam kategori ini lebih suka bekerja sendiri atau bekerja dengan orang-orang yang punya kebutuhan sama.
Sedangkan orang yang memiliki kebutuhan afiliasi tinggi akan mengutamakan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan ingin bisa diterima di lingkungannya. Ia cenderung menaati norma-norma dalam kelompoknya. Orang yang termasuk dalam kategori ini lebih menyukai pekerjaan yang banyak melibatkan interaksi dengan orang lain.
Yang terakhir, orang yang punya kebutuhan akan kekuasaan dibagi atas dua tipe: kekuasaan yang bersifat pribadi dan kekuasaan dalam institusi. Orang yang memiliki kebutuhan untuk berkuasa secara pribadi cenderung bossy. Tindakan ini terkadang dianggap sebagai tindakan yang tidak disukai. Sedang mereka yang ingin berkuasa dalam institusi memiliki keinginan untuk mengatur usaha orang lain agar dapat mencapai tujuan bersama. Tipe ini cenderung lebih efektif daripada tipe pertama.
Kebutuhan seseorang pun dapat berubah sesuai dengan tahapan kehidupan yang dijalaninya. Contohnya, saat masih sekolah, kita cenderung memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi karena tuntutan orangtua maupun sekolahnya. Pada saat menikah, kebutuhan afiliasinya menjadi lebih tinggi. “Mungkin ia berpikir tidak masalah menjadi orang nomor dua dalam perusahaan asalkan ia memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga,” Alex menjelaskan.
Jadi yang penting bukanlah nomor satunya, tapi apa yang paling membuat Anda merasa bahagia.
Kegigihan seseorang untuk meraih posisi nomor satu didasari oleh kebutuhannya. Psikolog asal Amerika Serikat, David McClelland, menjelaskan bahwa kebutuhan seseorang diperoleh dan dibentuk dari pengalamannya. Kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: kebutuhan akan prestasi (achievement), kekuasaan (power), dan afiliasi (affiliation). Motivasi dan ukuran keberhasilan seseorang dalam bekerja akan dipengaruhi oleh tiga kebutuhan tersebut.
McClelland meramalkan orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi akan berpotensi menjadi pemimpin. Meskipun ia juga cenderung menetapkan tuntutan tinggi kepada stafnya (demanding). Orang yang termasuk dalam kategori ini lebih suka bekerja sendiri atau bekerja dengan orang-orang yang punya kebutuhan sama.
Sedangkan orang yang memiliki kebutuhan afiliasi tinggi akan mengutamakan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan ingin bisa diterima di lingkungannya. Ia cenderung menaati norma-norma dalam kelompoknya. Orang yang termasuk dalam kategori ini lebih menyukai pekerjaan yang banyak melibatkan interaksi dengan orang lain.
Yang terakhir, orang yang punya kebutuhan akan kekuasaan dibagi atas dua tipe: kekuasaan yang bersifat pribadi dan kekuasaan dalam institusi. Orang yang memiliki kebutuhan untuk berkuasa secara pribadi cenderung bossy. Tindakan ini terkadang dianggap sebagai tindakan yang tidak disukai. Sedang mereka yang ingin berkuasa dalam institusi memiliki keinginan untuk mengatur usaha orang lain agar dapat mencapai tujuan bersama. Tipe ini cenderung lebih efektif daripada tipe pertama.
Kebutuhan seseorang pun dapat berubah sesuai dengan tahapan kehidupan yang dijalaninya. Contohnya, saat masih sekolah, kita cenderung memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi karena tuntutan orangtua maupun sekolahnya. Pada saat menikah, kebutuhan afiliasinya menjadi lebih tinggi. “Mungkin ia berpikir tidak masalah menjadi orang nomor dua dalam perusahaan asalkan ia memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga,” Alex menjelaskan.
Jadi yang penting bukanlah nomor satunya, tapi apa yang paling membuat Anda merasa bahagia.
Nofi Triana Firman