Tidak semua hal dalam hidup ini bisa dijelaskan dengan teori logika. Bicara soal perasaan atau keajaiban, misalnya. Segala hal yang tidak bisa dihitung secara matematis, tidak masuk akal, lantas dibilang mustahil.
AM Rukky Santoso, penulis buku seri dan penggagas Right Brain Training, menjelaskan efek dominasi otak kiri yang mengharuskan segala sesuatunya serba terukur adalah hasil dari pola pendidikan kita yang cenderung mengutamakan aspek akademis. Teorinya jika kita pintar (secara akademis), pasti akan sukses dan bahagia. Padahal kenyataannya, gelar sarjana tidaklah selalu menjamin kesuksesan. Justru ada (bahkan banyak) orang kaya yang tidak mengenyam bangku kuliah.
Sebut saja Andri Wongso sang motivator, juga pengusaha konglomerat Liem Sioe Liong yang tak tamat SMU. Sebaliknya, sekarang banyak juga sarjana yang menganggur. Antara sukses dan bahagia juga tidak selalu berbanding lurus. Kita banyak menemukan orang-orang yang hidup pas-pasan, bisa lebih merasa bahagia daripada orang kaya.
Dari segi kesehatan mental, dominasi otak kiri justru bisa membuat hidup kita stres. Kata Dr. Roekani, ahli psikiatri senior dari Universitas Brawijaya, Malang, seperti dilansir dalam buku Quantum Ikhlas, ketika otak bergerak terlalu dominan di gelombang otak beta (otak kiri), kortisol yang merupakan hormon stres akan diproduksi lebih banyak. Ketika kita terlalu serius “berpikir”, badan akan tegang. Ketegangan ini berpengaruh pada kerja saraf. Akibatnya, tidak hanya membebani pikiran, tapi juga akan mengganggu kesehatan fisik dan ketenangan jiwa.
Di sinilah terbukti bahwa logika saja tidak bisa membuat orang bahagia. Karena perasaan bukan produk otak kiri, melainkan otak kanan. Namun, karena selama ini kita lebih senang bermain di otak kiri, maka kita seolah mengabaikan kemampuan otak kanan yang sebenarnya jauh lebih powerful dan sangat berpengaruh terhadap rasa bahagia. Bisa jadi, hal-hal yang tidak logis, justru membuat Anda lebih bahagia.
Shinta Kusuma