Pada 12 Oktober 1999, Adnan Nevic, yang lahir di ibukota Sarajevo – Bosnia, dinobatkan PBB sebagai bayi dunia yang keenam miliar. Dunia menyambutnya dengan sukacita. Ia diberi berbagai fasilitas agar bisa bersekolah dengan baik, menjadi penerus yang cinta kedamaian dan produktif. Sama seperti Wahyu Nusantaraji, “anak negara”, produksi ke-200 juta bangsa Indonesia yang disematkan mendiang Presiden Soeharto, sebagai penduduk ke-200 juta, 4 Februari 1997.
Ke manakah mereka sekarang? Apa yang mereka dapatkan dari bangsanya adalah cerminan bagaimana suatu bangsa menata penduduk, ekonomi, dan masa depannya. Bangsa yang terlena adalah bangsa yang senang menunggu bantuan orang lain dan orangtuanya gemar memberi warisan besar pada anak, dan menjadikan anak-anaknya "penumpang" yang manja.
Wahyu Kurus dan Miskin
Hanya berselang 12 tahun, PBB sudah bikin kita ngeri. Pada tanggal 31 Oktober 2011, PBB sudah mengumumkan nama baru: Nargis Kumar (dari desa Mall - Uttar Prodesh, India) dan Danica May Camacho (dari sebuah gang di Manila) sebagai bayi laki-laki dan perempuan ke-7 miliar.
Ngeri, karena dulu bumi ini memerlukan waktu 250.000 tahun untuk mencapai 1 miliar (1800), lalu menjadi 127 tahun (1927) untuk menjadi 2 miliar jiwa. Kini setiap 12 tahun bumi bertambah 1 miliar jiwa, bahkan ke depan akan menjadi setiap lima tahun. Sudah begitu, yang paling cepat tumbuh adalah penduduk-penduduk miskin. Secara teoritis, kemiskinan memang ditemukan memicu kenaikan “taste” terhadap “demand for children” karena cost for raising (untuk sekadar hidup) mereka rendah. Seluruh anggota keluarga bisa terlibat dalam membesarkan anak. Demikian kesimpulan penerima hadiah Nobel Ekonomi (1992), Gary Becker.
Maka, saat Nargis dan Danica dinobatkan menjadi bayi ke-7 miliar, dunia segera membuka kembali kehidupan Adnan Nenic yang kini sudah berusia 12 tahun (2011). Dari siaran BBC News saya bisa melihat wajah ibunda Adnan yang terlihat letih. Ibundanya mengakui sangat kesulitan keuangan. Ayahnya sudah pensiun, sakit-sakitan, dan tidak punya penghasilan yang memadai. Rumahnya sederhana, tinggal di sebuah desa 60 kilometer dari ibu kota. “Kalau ada hadiah yang saya tunggu dari negara, saya ingin diberi pekerjaan." BBC melaporkan, “Ketika teman-temannya mencemburui statusnya sebagai anak negara, ibundanya kesulitan keuangan.”
Silakan buka rekaman pentahbisan Adnan sebagai bayi ke-6 miliar. Dari komputer Anda, maka dengan mudah Anda temui sebuah seremonial besar-besaran yang dihiasi lampu-lampu kamera, saat Kofi Annan memangku bayi mungil di hadapan tokoh-tokoh dunia. Sudah pasti itu adalah sebuah seremonial kelas dunia yang menghabiskan jutaan dolar.
Sama dengan Wahyu Nusantaraji, yang diberi nama khusus oleh mendiang Presiden Soeharto. Oleh kakeknya, semula Wahyu akan diberi nama Hutomo Mandala Putra, tetapi Pak Harto justru memberi nama lain yang lebih bermakna bagi Indonesia. Menurut catatan saya, oleh Bupati Lombok Timur, Wahyu disebut sebagai bayi mahal karena akan dijadikan “role model” dalam masyarakatnya. Dilakukanlah pesta aqiqah akbar dengan tamu 3 orang menteri: Menko Kesra (Azwar Anas), Menteri Kependudukan (Haryono Suryono), dan Mentrans saat itu (Ir. Siswono Yudo Husodo).
Seperti Adnan, Wahyu memperoleh banyak janji: Ia dijamin bisa bersekolah tinggi dengan
sponsor PT. Posindo dan BRI. BRI memberi hadiah deposito Rp 10 juta yang 25 tahun kemudian bisa dipakai untuk modal usaha (karena akan menjadi Rp 193 juta). Uang hadiah lainnya juga banyak sekali. Tetapi, saat dikunjungi wartawan di usianya yang ke-10, semuanya kecewa.
Wahyu terlihat kurus, desanya tetap miskin dan kering, bahkan sekolahnya tak terawat. Sebegitunya hingga mereka hanya bisa sekolah di sore hari karena keterbatasan ruang kelas.Seperti merasa terlambat, pejabat BKKBN pun menyerahkan uang kontan yang jauh lebih kecil dari yang ia temui saat kamera TV gencar melaporkan kelahirannya: Rp 1 juta. Pejabat itu ingin agar orang tua Wahyu memberi asupan gizi yang baik. Tetapi wartawan menulis, “Bukanlah usia emasnya sudah berlalu?” Tetangga-tetangganya juga menceritakan, “Negeri ini hanya heboh seremoninya. Setelah itu waktu sunatan Wahyu saja semua tetangga bingung. Kok keluarga itu seperti tak punya uang.”