Rasanya ada seribu alasan untuk kita memulai berolahraga di pagi hari. Apalagi di hari Minggu, hari yang lebih enak dihabiskan dengan leyeh-leyeh di rumah bersama keluarga. Seketika hati saya menjadi malu, ketika di suatu hari Minggu, saya bertemu ratusan orang yang begitu bersemangat, mengikuti kegiatan ‘jalan’ sehat – tanpa memusingkan ‘keterbatasan’ mereka yang sebagian besar adalah para penyandang tunadaksa.
“Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang tunadaksa merupakan yang tertinggi di Indonesia jika dibandingkan dengan penyandang disabilitas lainnya, yaitu sebesar 33,75%,” demikian kata Tatang Widjaja – President Director PT. A.J. Sequis Life, saat konferensi pers acara launching CSR program Sequislife From Disable to The Able – #Forable di halaman Parkir Selatan, Gelora Bung Karno, 21 April lalu.
Sebut saja, Eli. Perempuan 31 tahun yang saya temui di saat rehat makan siang. Wajahnya masih terlihat lelah setelah mengayuh kursi rodanya mengelilingi Parkir Selatan. Ia adalah salah anggota Wisma Cheshire –yayasan yang menaungi para penyandang tunadaksa dan pengguna kursi roda di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan.
Hampir separuh hidupnya dihabiskan di atas kursi roda akibat penyakit Guillain-Barré Syndrome (GBS) yang dideritanya. Penyakit yang mungkin asing di telinga kita. “Kata dokter penyebabnya karena bakteri. Tiba-tiba saja tubuh saya lemas. Nyeri seluruh badan. Sesak napas. Tapi bukan gejala stroke. Padahal waktu itu saya mau ujian kelas 3 SMP,” kenangnya.
Eli terpaksa tidak ikut ujian. Ia berobat ke sana kemari. Tetapi sayangnya, dokter saat itu belum terlalu familiar dengan gangguan sistem kekebalan tubuh yang menyerang sistem saraf itu. Menurut referensi, penyakit langka yang ditemukan sejak 1916 setelah Perang Dunia I ini, menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Gejala awalnya kesemutan yang terus menerus, tubuh menjadi lemah dan kehilangan kepekaan indrawi.
“Sebenarnya kalau dulu saya bisa ditangani segera oleh dokter yang tepat, saya bisa berjalan lagi,” katanya lirih. Tetapi, Eli tidak pernah protes pada dokter yang salah memberinya diagnosis. Tidak juga marah pada Tuhan yang menakdirkannya untuk duduk di kursi roda seumur hidup. Ia memilih pasrah, menerima keadaannya dengan ikhlas. Ia justru bersyukur akhirnya bisa menemukan setitik harapan di Wisma Cheshire. “Mereka banyak yang sukses menjadi atlit paralimbik. Saya jadi makin semangat. Bukan mau jadi atlit. Tapi saya hanya ingin bisa diterima bekerja sesuai kemampuan saya,” begitu kata Eli yang juga berharap tahun berikutnya giliran ia dan teman-temannya yang bisa mendapatkan sumbangan kursi roda baru.
“Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang tunadaksa merupakan yang tertinggi di Indonesia jika dibandingkan dengan penyandang disabilitas lainnya, yaitu sebesar 33,75%,” demikian kata Tatang Widjaja – President Director PT. A.J. Sequis Life, saat konferensi pers acara launching CSR program Sequislife From Disable to The Able – #Forable di halaman Parkir Selatan, Gelora Bung Karno, 21 April lalu.
Sebut saja, Eli. Perempuan 31 tahun yang saya temui di saat rehat makan siang. Wajahnya masih terlihat lelah setelah mengayuh kursi rodanya mengelilingi Parkir Selatan. Ia adalah salah anggota Wisma Cheshire –yayasan yang menaungi para penyandang tunadaksa dan pengguna kursi roda di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan.
Hampir separuh hidupnya dihabiskan di atas kursi roda akibat penyakit Guillain-Barré Syndrome (GBS) yang dideritanya. Penyakit yang mungkin asing di telinga kita. “Kata dokter penyebabnya karena bakteri. Tiba-tiba saja tubuh saya lemas. Nyeri seluruh badan. Sesak napas. Tapi bukan gejala stroke. Padahal waktu itu saya mau ujian kelas 3 SMP,” kenangnya.
Eli terpaksa tidak ikut ujian. Ia berobat ke sana kemari. Tetapi sayangnya, dokter saat itu belum terlalu familiar dengan gangguan sistem kekebalan tubuh yang menyerang sistem saraf itu. Menurut referensi, penyakit langka yang ditemukan sejak 1916 setelah Perang Dunia I ini, menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Gejala awalnya kesemutan yang terus menerus, tubuh menjadi lemah dan kehilangan kepekaan indrawi.
“Sebenarnya kalau dulu saya bisa ditangani segera oleh dokter yang tepat, saya bisa berjalan lagi,” katanya lirih. Tetapi, Eli tidak pernah protes pada dokter yang salah memberinya diagnosis. Tidak juga marah pada Tuhan yang menakdirkannya untuk duduk di kursi roda seumur hidup. Ia memilih pasrah, menerima keadaannya dengan ikhlas. Ia justru bersyukur akhirnya bisa menemukan setitik harapan di Wisma Cheshire. “Mereka banyak yang sukses menjadi atlit paralimbik. Saya jadi makin semangat. Bukan mau jadi atlit. Tapi saya hanya ingin bisa diterima bekerja sesuai kemampuan saya,” begitu kata Eli yang juga berharap tahun berikutnya giliran ia dan teman-temannya yang bisa mendapatkan sumbangan kursi roda baru.
Bagi Eli, setiap hal kecil sangat berarti. Setiap titik adalah harapan. Eli senang bisa berkenalan dengan banyak orang hari itu. Belajar dari cerita Eli, keikhlasan dan optimistisnya, saya pun mulai berhenti mengeluh. Berhenti mengejar ego yang tak ada habisnya. Sebaliknya, belajar ‘menghitung’ apa yang kita raih setiap hari dan bersyukur akan apa yang saya miliki saat ini.
• Untuk mencapai misi Sequislife memberikan 1.000 kaki palsu bagi para penyandang tunadaksa di seluruh Indonesia, Anda bisa ikut berpartisipasi dengan cara mendaftarkan saudara atau kenalan Anda secara online melalui www.sequislife.com/forable (pendaftaran II).