Hasil survei yang dilakukan Central Strategic International Studies (CSIS) dan Litbang Kompas membuat kita (kembali) tersentak. Hasil survei CSIS menyebutkan, masyarakat Indonesia menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman, tapi mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman tersebut. Sebagai contoh, sebanyak 68% responden mengaku tidak bisa menerima pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya.
Hasil survei Kompas –yang fokus utamanya menguak keberadaan kelas menengah kita — tak kalah mencemaskan. Terungkap bahwa reformasi demokrasi di negeri ini ternyata tidak melahirkan masyarakat yang toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan ideologi. Mereka justru ikut menihilkan perbedaan, antara lain dengan mendukung pernyataan bahwa “organisasi massa atau partai yang berhaluan kiri sebaiknya dilarang di Indonesia”. Sebagian besar dari mereka juga lebih setuju pelarangan Ahmadiyah di Indonesia, ketimbang bahwa semua kelompok keagamaan berhak menjalankan keyakinannya di Indonesia. Dan yang paling memprihatinkan, di tengah gemuruh demokrasi dan pasar bebas, kelas menengah Indonesia justru banyak yang menjadi pendukung fundamentalisme dan radikalisme (beragama)!
Penolakan terhadap konser Lady Gaga di Jakarta mungkin tak ada apa-apanya bila dibandingkan aksi-aksi intoleransi yang belakangan ini kian marak dan beringas, khususnya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ormas keagamaan tertentu. Mengapa kelompok-kelompok anti-toleransi tersebut makin hari makin merajalela? Menurut Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pengembangan kebudayaan dan kemanusiaan, salah satu penyebabnya adalah karena sejauh ini belum ada pihak-pihak yang secara serius berusaha meredam atau mengimbangi gerakan mereka. Tak heran bila suara kelompok-kelompok anti-toleransi itu jadi terdengar nyaring.
Fajar menambahkan, kelompok yang sangat potensial untuk meng-counter gerakan-gerakan anti-toleransi itu sesungguhnya adalah kaum kelas menengah, yang menurut kajian Bank Dunia, kini telah mencapai 56,5% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237 juta jiwa (dari Sensus 2010), dan diperkirakan akan terus bertambah.
Ada banyak alasan mengapa ‘gebrakan’ kaum kelas menengah sangat dinantikan untuk mengusung dan menegakkan kembali nilai-nilai toleransi dalam masyarakat kita. Selain berpendidikan cukup tinggi, mereka juga menguasai dan pengguna teknologi informasi yang aktif. Dengan jejaring yang luas, kemampuan berkomunikasi yang lebih canggih, serta dukungan materi yang cukup, sesungguhnya kelompok kelas menengah ini bisa sangat powerful untuk memengaruhi bahkan ‘mengubah dunia’. Seperti yang terjadi pada tahun 1998, saat masyarakat kelas menengah kita (meskipun yang maju adalah mahasiswa) bahu membahu menjatuhkan pemerintahan Soeharto. Atau di Thailand, ketika kelas menengah mereka berhasil menjatuhkan Perdana Menteri Taksin. Peran kelompok ini makin ditunggu-tunggu, mengingat pemerintah kita ternyata tidak bisa diandalkan.
Sayangnya, saat ini gebrakan itu tampaknya masih jauh panggang dari api. “Kelas menengah kita masih lebih banyak yang memilih berlindung di zona nyaman (dan aman). Banyak di antara mereka mengaku mendukung toleransi dan pluralitas, tapi hanya secara pasif. Keberanian mereka baru sebatas berkeluh kesah, bergosip, atau mencaci maki perilaku kelompok anti-toleransi itu (dan juga pemerintah) lewat media sosial. Turun ke jalan untuk berdemo? Jelas mereka tidak mau atau tidak berani,” Fajar memaparkan.
Sebaliknya, kelompok-kelompok fundamentalis dan radikal justru lebih agresif (dan efektif) memanfaatkan teknologi informasi, termasuk media sosial, untuk menyebarkan ideologi mereka. “Coba saja lihat, saat ini jauh lebih mudah kita menemukan situs-situs milik kelompok fundamentalis di internet daripada situs-situs milik kelompok pejuang perdamaian dan pluralitas,” kata Fajar. Selain itu, kelompok-kelompok fundamentalis ini juga lebih militan dan ‘berani mati’, dua hal yang tidak dimiliki oleh kebanyakan kalangan kelas menengah kita. (bersambung)
Hasil survei Kompas –yang fokus utamanya menguak keberadaan kelas menengah kita — tak kalah mencemaskan. Terungkap bahwa reformasi demokrasi di negeri ini ternyata tidak melahirkan masyarakat yang toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan ideologi. Mereka justru ikut menihilkan perbedaan, antara lain dengan mendukung pernyataan bahwa “organisasi massa atau partai yang berhaluan kiri sebaiknya dilarang di Indonesia”. Sebagian besar dari mereka juga lebih setuju pelarangan Ahmadiyah di Indonesia, ketimbang bahwa semua kelompok keagamaan berhak menjalankan keyakinannya di Indonesia. Dan yang paling memprihatinkan, di tengah gemuruh demokrasi dan pasar bebas, kelas menengah Indonesia justru banyak yang menjadi pendukung fundamentalisme dan radikalisme (beragama)!
Penolakan terhadap konser Lady Gaga di Jakarta mungkin tak ada apa-apanya bila dibandingkan aksi-aksi intoleransi yang belakangan ini kian marak dan beringas, khususnya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ormas keagamaan tertentu. Mengapa kelompok-kelompok anti-toleransi tersebut makin hari makin merajalela? Menurut Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pengembangan kebudayaan dan kemanusiaan, salah satu penyebabnya adalah karena sejauh ini belum ada pihak-pihak yang secara serius berusaha meredam atau mengimbangi gerakan mereka. Tak heran bila suara kelompok-kelompok anti-toleransi itu jadi terdengar nyaring.
Fajar menambahkan, kelompok yang sangat potensial untuk meng-counter gerakan-gerakan anti-toleransi itu sesungguhnya adalah kaum kelas menengah, yang menurut kajian Bank Dunia, kini telah mencapai 56,5% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237 juta jiwa (dari Sensus 2010), dan diperkirakan akan terus bertambah.
Ada banyak alasan mengapa ‘gebrakan’ kaum kelas menengah sangat dinantikan untuk mengusung dan menegakkan kembali nilai-nilai toleransi dalam masyarakat kita. Selain berpendidikan cukup tinggi, mereka juga menguasai dan pengguna teknologi informasi yang aktif. Dengan jejaring yang luas, kemampuan berkomunikasi yang lebih canggih, serta dukungan materi yang cukup, sesungguhnya kelompok kelas menengah ini bisa sangat powerful untuk memengaruhi bahkan ‘mengubah dunia’. Seperti yang terjadi pada tahun 1998, saat masyarakat kelas menengah kita (meskipun yang maju adalah mahasiswa) bahu membahu menjatuhkan pemerintahan Soeharto. Atau di Thailand, ketika kelas menengah mereka berhasil menjatuhkan Perdana Menteri Taksin. Peran kelompok ini makin ditunggu-tunggu, mengingat pemerintah kita ternyata tidak bisa diandalkan.
Sayangnya, saat ini gebrakan itu tampaknya masih jauh panggang dari api. “Kelas menengah kita masih lebih banyak yang memilih berlindung di zona nyaman (dan aman). Banyak di antara mereka mengaku mendukung toleransi dan pluralitas, tapi hanya secara pasif. Keberanian mereka baru sebatas berkeluh kesah, bergosip, atau mencaci maki perilaku kelompok anti-toleransi itu (dan juga pemerintah) lewat media sosial. Turun ke jalan untuk berdemo? Jelas mereka tidak mau atau tidak berani,” Fajar memaparkan.
Sebaliknya, kelompok-kelompok fundamentalis dan radikal justru lebih agresif (dan efektif) memanfaatkan teknologi informasi, termasuk media sosial, untuk menyebarkan ideologi mereka. “Coba saja lihat, saat ini jauh lebih mudah kita menemukan situs-situs milik kelompok fundamentalis di internet daripada situs-situs milik kelompok pejuang perdamaian dan pluralitas,” kata Fajar. Selain itu, kelompok-kelompok fundamentalis ini juga lebih militan dan ‘berani mati’, dua hal yang tidak dimiliki oleh kebanyakan kalangan kelas menengah kita. (bersambung)
Tina Savitri