Mungkin Anda pernah mengalami ini; mondar-mandir di dapur, melakukan sesuatu untuk mulai memasak, tapi kemudian meninggalkannya begitu saja. Ingin menonton TV, alih-alih menonton, Anda hanya memindah-mindahkan saluran. Tak ada yang ingin ditonton. Anda mulai browsing internet, tapi tak ada situs yang membuat Anda puas, sehingga Anda pun kembali beralih ke hal lain. Semua kegiatan hanya dilakukan selintas, tidak sampai tuntas.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri Anda? Jawabannya: Anda sedang didera rasa bosan. Celakanya, rasa bosan ini juga bisa menjalar pada hal-hal lain yang lebih besar: karier, perkawinan, bahkan bosan pada kehidupan itu sendiri. Kalau sudah begini, alarm waspada mulai berdering.
Kondisi pikiran, bukan emosi
Kita kerap menganggap rasa bosan sebagai sesuatu yang tidak penting. Padahal, sesungguhnya kebosanan memberi pesan pada kita, bahwa kita sedang merasakan situasi tanpa makna yang begitu kuat.
Peter Toohey, penulis buku Boredom: A Lively History, menyebut kebosanan merupakan sebuah mekanisme penyesuaian diri. Kebosanan tidak dapat disamakan dengan emosi lainnya, seperti gembira, sedih, takut, marah, dan terkejut. Atau rasa bersalah, cemburu, tersaingi, dan lain-lain. Toohey membedakan dua jenis kebosanan. Pertama, kebosanan yang sederhana, yang rutin terjadi dan tidak butuh ‘diterjemahkan’. Yang kedua adalah kebosanan eksistensial, yang bukan merupakan emosi atau suasana hati, bukan pula perasaan. Kebosanan eksistensial, kata Toohey, adalah formulasi intelektual yang muncul bersamaan dengan depresi dan kesadaran diri yang tinggi, yang disebut kondisi refleksi diri.
Sani B. Hermawan, psikolog dan Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani menjelaskan, secara alamiah tubuh akan memberi sinyal bahwa kondisi sudah terasa jenuh atau membosankan. “Simptomanya antara lain kurang semangat dalam beraktivitas, spirit hidup menurun, menghindari interaksi dengan orang lain atau cenderung mengisolasi diri, dan kualitas berpikir mengalami penurunan,” jelas Sani. Kalau sudah begitu, kita sendirilah yang harus pandai-pandai mengenali sinyal-sinyal tersebut, dan mencari jalan untuk mengatasi.
Mudahnya seseorang mengalami kebosanan –disebut boredom proneness atau rentan kebosanan- merupakan suatu karakteristik kepribadian. Tingkat kebosanan memiliki banyak komponen, yaitu perasaan jadi tidak nyaman dan terjadi perubahan berpikir, seperti kurang berminat pada apa pun, konsentrasi menurun, dan waktu terasa melambat. Sinyal lain adalah terjadinya perubahan pada tubuh, seperti merasa kelelahan, terjadi perubahan pada wajah (bosan, jutek), posisi tubuh cenderung membungkuk, serta terjadi perubahan perilaku yang membuat kita terdorong untuk mengubah kegiatan yang biasa dilakukan, atau justru meninggalkan situasi yang membuat kita bosan.
Rasa bosan yang membuat frustasi ini bisa ‘dibalik’ menjadi percikan kreativitas dan katalisator bagi pertumbuhan dan perubahan. Kalau begitu, apa makna kebosanan? “Bosan adalah kondisi di mana pikiran menginginkan perubahan atau mendambakan suatu yang baru. Bosan juga bisa diartikan sebagai tanda untuk stop dari rutinitas sesaat, atau memberi warna baru dari keadaan yang monoton selama ini,” papar Sani.
Celakanya, orang yang sulit atau kurang mampu menangkap sinyal bosan biasanya akan mengalami tekanan yang lebih tinggi atau lebih kronis. “Karena itu, setiap individu harus terampil mengenali rasa bosan di dalam dirinya dan berusaha untuk mengatasinya. Rasa bosan memang tidak bisa dihindari, tapi diatasi,” Sani menegaskan.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri Anda? Jawabannya: Anda sedang didera rasa bosan. Celakanya, rasa bosan ini juga bisa menjalar pada hal-hal lain yang lebih besar: karier, perkawinan, bahkan bosan pada kehidupan itu sendiri. Kalau sudah begini, alarm waspada mulai berdering.
Kondisi pikiran, bukan emosi
Kita kerap menganggap rasa bosan sebagai sesuatu yang tidak penting. Padahal, sesungguhnya kebosanan memberi pesan pada kita, bahwa kita sedang merasakan situasi tanpa makna yang begitu kuat.
Peter Toohey, penulis buku Boredom: A Lively History, menyebut kebosanan merupakan sebuah mekanisme penyesuaian diri. Kebosanan tidak dapat disamakan dengan emosi lainnya, seperti gembira, sedih, takut, marah, dan terkejut. Atau rasa bersalah, cemburu, tersaingi, dan lain-lain. Toohey membedakan dua jenis kebosanan. Pertama, kebosanan yang sederhana, yang rutin terjadi dan tidak butuh ‘diterjemahkan’. Yang kedua adalah kebosanan eksistensial, yang bukan merupakan emosi atau suasana hati, bukan pula perasaan. Kebosanan eksistensial, kata Toohey, adalah formulasi intelektual yang muncul bersamaan dengan depresi dan kesadaran diri yang tinggi, yang disebut kondisi refleksi diri.
Sani B. Hermawan, psikolog dan Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani menjelaskan, secara alamiah tubuh akan memberi sinyal bahwa kondisi sudah terasa jenuh atau membosankan. “Simptomanya antara lain kurang semangat dalam beraktivitas, spirit hidup menurun, menghindari interaksi dengan orang lain atau cenderung mengisolasi diri, dan kualitas berpikir mengalami penurunan,” jelas Sani. Kalau sudah begitu, kita sendirilah yang harus pandai-pandai mengenali sinyal-sinyal tersebut, dan mencari jalan untuk mengatasi.
Mudahnya seseorang mengalami kebosanan –disebut boredom proneness atau rentan kebosanan- merupakan suatu karakteristik kepribadian. Tingkat kebosanan memiliki banyak komponen, yaitu perasaan jadi tidak nyaman dan terjadi perubahan berpikir, seperti kurang berminat pada apa pun, konsentrasi menurun, dan waktu terasa melambat. Sinyal lain adalah terjadinya perubahan pada tubuh, seperti merasa kelelahan, terjadi perubahan pada wajah (bosan, jutek), posisi tubuh cenderung membungkuk, serta terjadi perubahan perilaku yang membuat kita terdorong untuk mengubah kegiatan yang biasa dilakukan, atau justru meninggalkan situasi yang membuat kita bosan.
Rasa bosan yang membuat frustasi ini bisa ‘dibalik’ menjadi percikan kreativitas dan katalisator bagi pertumbuhan dan perubahan. Kalau begitu, apa makna kebosanan? “Bosan adalah kondisi di mana pikiran menginginkan perubahan atau mendambakan suatu yang baru. Bosan juga bisa diartikan sebagai tanda untuk stop dari rutinitas sesaat, atau memberi warna baru dari keadaan yang monoton selama ini,” papar Sani.
Celakanya, orang yang sulit atau kurang mampu menangkap sinyal bosan biasanya akan mengalami tekanan yang lebih tinggi atau lebih kronis. “Karena itu, setiap individu harus terampil mengenali rasa bosan di dalam dirinya dan berusaha untuk mengatasinya. Rasa bosan memang tidak bisa dihindari, tapi diatasi,” Sani menegaskan.
Immanuella F. Rachmani