Berbagai permasalahan dan ketidakbahagiaan manusia zaman sekarang bersumber dari emosi. Menurut Erbe Sentanu, pendiri lembaga transformasi diri Katahati Institute, salah satu penyebabnya adalah karena mereka membiarkan diri disetir oleh akal (otak) sehingga sulit memahami dan mengungkapkan emosi sendiri. Emosi selalu dianggap lemah dan cenderung diabaikan. Sejak kecil kita dididik di dalam sistem yang lebih mengutamakan IQ (kecerdasan otak) daripada EQ (kecerdasan emosi). Sementara dalam budaya Timur, kita diajarkan untuk 'mengekang' emosi, di mana pria tidak boleh menangis dan wanita harus pandai memendam perasaan.
Semakin dewasa, ruang ekspresi itu pun kian terbatas karena kita dituntut untuk lebih pandai mengendalikan emosi. Lama kelamaan, emosi kita pun menjadi semakin 'lemah'. Bahkan wanita yang semula dianggap lebih berperasaan dibanding pria, semakin mirip pria yang sulit mengakui perasaannya.
Kehidupan yang supersibuk dan 'keras' juga membuat wanita harus bersikap tegas. Sehingga tanpa sadar kita pun terbiasa menekan perasaan. Dan, ketika emosi sedang bergejolak, kita terbiasa mengalihkannya dengan membahas, 'mengapa saya sedih, seharusnyakah saya marah'. Dengan kata lain, kita lebih sering memikirkan perasaan ketimbang merasakannya.
Pelajari sifat emosi
Seperti halnya pikiran untuk dipikirkan, maka perasaan (emosi) untuk dirasakan. Selama ini kita cenderung menafsirkan kata 'mengendalikan emosi' dengan memendam atau mengekang emosi. Padahal sejatinya berasal dari kata emotion, dalam bahasa Inggris 'e' kependekan dari elektromagnetic, berarti gelombang emosi adalah gelombang elektromagnetik yang bergerak di dalam tubuh kita.
Karenanya, emosi memiliki beberapa sifat, antara lain:
Tarik-menarik
Ia akan menarik segala hal yang sama sifatnya. Maka, jika kita memulai hari dengan perasaan tidak enak, akan mengundang hal-hal yang tidak mengenakkan pula. Begitu pula kalau kita selalu merasa sedih, akan cenderung menarik sesuatu yang menyedihkan dan sulit menarik sesuatu yang bersifat bahagia.
Selalu ingin bebas
Seperti sifat energi lainnya, emosi harus dilepas atau diekspresikan. Kalau tidak dilepaskan (supress), ia akan 'bersembunyi' di alam bawah sadar kita dan terus aktif mencari celah untuk keluar. Manifestasinya bisa muncul dalam berbagai gangguan fisik (migrain, maag, kanker, stroke), psikis (stres, depresi), bahkan jiwa (psikopat).
Shinta Kusuma