Dalam bahasa Latin, intuisi berasal dari kata intueri, yang secara bebas diartikan 'melihat ke dalam diri kita' (to contemplate). Carl Gustav Jung, pakar psikoanalisis dari Swiss, mendefinisikan intuisi sebagai persepsi yang muncul dari pikiran alam bawah sadar manusia dan tidak didasari oleh logika atau perasaan. Intuisi bersumber pada naluri (chakra jantung) yang terhubung pada God Spot atau Kearifan Illahi. “Boleh dibilang, intuisi adalah semacam 'wahyu Illahi' (divine),” ujar Noviana Kusumardani, seorang intuition coach.
Sejatinya setiap orang memiliki kepekaan intuisi secara alami. Hanya saja, karena selama ini kita lebih dituntut menggunakan logika dalam berbagai hal, maka kemampuan intuisi kita tidak terasah dengan baik.
Bayangkan, dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari, otak kita penuh. Mulai dari menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, menyelesaikan pekerjaan di kantor, menghadiri berbagai meeting, bahkan kembali ke rumah pun kita masih harus berkutat di depan komputer. Dalam kondisi seperti ini, kerja otak kiri kita lebih dominan ketimbang otak kanan. Otak kiri merupakan otak akademis yang berisikan logika, analisis, bahasa, dan matematika.
Sementara otak kanan, jika diaktifkan, memiliki kemampuan luar biasa karena
berisikan imajinasi, emosi, intuisi, dan spiritualitas. Kedua bagian otak kita bekerja
secara paralel. “Jadi, kalau kita ingin mendengarkan intuisi (otak kanan), kita harus
secara berkala 'mematikan' logika (otak kiri),” kata Novi.
Shinta Kusuma