Haruskah emosi ditinggal di rumah, begitu kita melangkah masuk kantor? Mungkin Anda pernah berkali-kali memikirkannya tanpa mendapat jawab yang memuaskan. Lazimnya pikiran ini menyelinap ketika jam berangkat kantor telah tiba, sementara ‘separuh nyawa’ masih tertinggal di rumah. Namun begitu masuk ruang kerja, semua urusan domestik menyingkir. Entah itu anak yang sedang sakit maupun pertengkaran yang belum usai.
Di dunia kerja yang penuh tuntutan ini, emosi seperti tidak punya tempat. Secara tidak sadar, kita pun turut menilai profesionalisme dengan penggunaan isi kepala. Orang yang gampang meneteskan air mata, misalnya, mungkin jadi pilihan terakhir ketika promosi akan dilakukan. Tapi, apa benar dunia kerja lebih suka profesional yang tidak punya hati?
Tidak, kata Sigal Barsade, dosen Ilmu Manajemen di Wharton yang melakukan riset selama 15 tahun tentang pengaruh emosi di tempat kerja. Katanya, “Semua orang membawa emosinya ke tempat kerja. Perasaan justru mendorong prestasi.”
Kabar baik lain datang dari psikolog Susan David. Risetnya tentang emosi membuktikan, suasana hati bisa berguna untuk menyelesaikan tugas tertentu. Hati yang riang menghasilkan pemikiran yang kreatif, sedangkan emosi negatif lebih cocok diterapkan ketika sedang memeriksa kesalahan dalam sebuah laporan.
Apa pun hasil riset, saya percaya manusia tidak hanya perlu mengaktifkan logika saja. Emosi, positif atau negatif, adalah sesuatu yang alamiah. Bagaimana mengaturnya, kita sendiri yang menentukan. Saya setuju kata-kata Friedrich Nietzsche, “One ought to hold on to one's heart; for if one lets it go, one soon loses control of the head too.”
Di dunia kerja yang penuh tuntutan ini, emosi seperti tidak punya tempat. Secara tidak sadar, kita pun turut menilai profesionalisme dengan penggunaan isi kepala. Orang yang gampang meneteskan air mata, misalnya, mungkin jadi pilihan terakhir ketika promosi akan dilakukan. Tapi, apa benar dunia kerja lebih suka profesional yang tidak punya hati?
Tidak, kata Sigal Barsade, dosen Ilmu Manajemen di Wharton yang melakukan riset selama 15 tahun tentang pengaruh emosi di tempat kerja. Katanya, “Semua orang membawa emosinya ke tempat kerja. Perasaan justru mendorong prestasi.”
Kabar baik lain datang dari psikolog Susan David. Risetnya tentang emosi membuktikan, suasana hati bisa berguna untuk menyelesaikan tugas tertentu. Hati yang riang menghasilkan pemikiran yang kreatif, sedangkan emosi negatif lebih cocok diterapkan ketika sedang memeriksa kesalahan dalam sebuah laporan.
Apa pun hasil riset, saya percaya manusia tidak hanya perlu mengaktifkan logika saja. Emosi, positif atau negatif, adalah sesuatu yang alamiah. Bagaimana mengaturnya, kita sendiri yang menentukan. Saya setuju kata-kata Friedrich Nietzsche, “One ought to hold on to one's heart; for if one lets it go, one soon loses control of the head too.”
Hannie Kusuma