Apakah Anda termasuk yang gemar mengonsumsi sup sirip ikan hiu? Jika ya, sudah saatnya Anda berhenti mengonsumsinya. Sebab, sirip hiu tidak memberi manfaat apapun bagi tubuh, bahkan mengandung merkuri yang bisa merusak tubuh. Sebagai predator teratas, hiu memakan ikan-ikan kecil yang bisa saja sudah terkontaminasi merkuri.
Inilah ajakan dari WWF Indonesia bersama Kementrian Kelautan dan Perikanan yang disampaikan dalam peluncuran kampanye bertajuk #SOSharks (Save our Sharks) --sebuah kampanye untuk menghentikan konsumsi berbagai produk dan komoditi hiu di pasar swalayan, toko online, hotel dan restoran, serta menghentikan promosi kuliner hiu di media massa. Kampanye ini dimulai sejak 10 Mei hingga akhir Juni 2013.
Hiu adalah salah satu spesies yang populasinya terancam punah. Melonjaknya jumlah permintaan sirip hiu dan produk-produk hiu lainnya telah menyebabkan terjadinya penangkapan besar-besaran terhadap satwa ini. Data FAO (2010) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan teratas dari 20 negara penangkap hiu terbesar di dunia.
Secara umum sirip hiu (atau terkadang bagian tubuh lainnya) didapatkan dengan memotong sirip mereka hidup-hidup atau biasa disebut dengan Shark Finning, lalu hiu tanpa sirip tersebut dibuang ke laut dalam keadaan masih bernyawa untuk kemudian mati secara perlahan. Praktik yang keji tersebut dilakukan terhadap 38 juta hiu setiap tahunnya (Clarke, 2006) dari sekitar 26-73 juta hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia (Fordham, 2010). Ini berarti sekitar 1-2 individu hiu tertangkap setiap detiknya. Disisi lain, hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat serta menghasilkan sedikit anakan sehingga rentan terhadap eksploitasi berlebih.
Padahal, sebagai predator teratas, hiu mengontrol populasi hewan laut dalam rantai makanan. Dengan demikian, populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan yang dikonsumsi manusia. Upaya penggalangan dukungan melalui kampanye #SOShark ini sejalan dengan telah dimasukkannya 12 jenis hiu dalam daftar yang harus dilindungi dalam kesepakatan internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 dan 30 Tahun 2012 tentang Perikanan Tangkap di Laut Lepas dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, yang di antaranya mewajibkan melepaskan jenis hiu tertentu dan juga melaporkan aktivitas penangkapan hiu.
Hingga saat ini, 20 orang figur publik turut memberikan dukungan terhadap kampanye #SOSharks, dan menjadi duta atau Champion kampanye ini. Para Champion tersebut antara lain: Shinta Widjaja Kamdani (Pengusaha dan Badan Pengurus Yayasan WWF Indonesia), Emirsyah Satar (President & CEO Garuda Indonesia), William Wongso (pakar kuliner), Bondan Winarno (pakar kulineri); dan Olga Lydia (model dan presenter).
Jika Anda ingin berpartisipasi dalam kampanye #SOSharks ini, silakan mengakses www.wwf.or.id/sosharks
Inilah ajakan dari WWF Indonesia bersama Kementrian Kelautan dan Perikanan yang disampaikan dalam peluncuran kampanye bertajuk #SOSharks (Save our Sharks) --sebuah kampanye untuk menghentikan konsumsi berbagai produk dan komoditi hiu di pasar swalayan, toko online, hotel dan restoran, serta menghentikan promosi kuliner hiu di media massa. Kampanye ini dimulai sejak 10 Mei hingga akhir Juni 2013.
Hiu adalah salah satu spesies yang populasinya terancam punah. Melonjaknya jumlah permintaan sirip hiu dan produk-produk hiu lainnya telah menyebabkan terjadinya penangkapan besar-besaran terhadap satwa ini. Data FAO (2010) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan teratas dari 20 negara penangkap hiu terbesar di dunia.
Secara umum sirip hiu (atau terkadang bagian tubuh lainnya) didapatkan dengan memotong sirip mereka hidup-hidup atau biasa disebut dengan Shark Finning, lalu hiu tanpa sirip tersebut dibuang ke laut dalam keadaan masih bernyawa untuk kemudian mati secara perlahan. Praktik yang keji tersebut dilakukan terhadap 38 juta hiu setiap tahunnya (Clarke, 2006) dari sekitar 26-73 juta hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia (Fordham, 2010). Ini berarti sekitar 1-2 individu hiu tertangkap setiap detiknya. Disisi lain, hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat serta menghasilkan sedikit anakan sehingga rentan terhadap eksploitasi berlebih.
Padahal, sebagai predator teratas, hiu mengontrol populasi hewan laut dalam rantai makanan. Dengan demikian, populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan yang dikonsumsi manusia. Upaya penggalangan dukungan melalui kampanye #SOShark ini sejalan dengan telah dimasukkannya 12 jenis hiu dalam daftar yang harus dilindungi dalam kesepakatan internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 dan 30 Tahun 2012 tentang Perikanan Tangkap di Laut Lepas dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, yang di antaranya mewajibkan melepaskan jenis hiu tertentu dan juga melaporkan aktivitas penangkapan hiu.
Hingga saat ini, 20 orang figur publik turut memberikan dukungan terhadap kampanye #SOSharks, dan menjadi duta atau Champion kampanye ini. Para Champion tersebut antara lain: Shinta Widjaja Kamdani (Pengusaha dan Badan Pengurus Yayasan WWF Indonesia), Emirsyah Satar (President & CEO Garuda Indonesia), William Wongso (pakar kuliner), Bondan Winarno (pakar kulineri); dan Olga Lydia (model dan presenter).
Jika Anda ingin berpartisipasi dalam kampanye #SOSharks ini, silakan mengakses www.wwf.or.id/sosharks
Tenni Purwanti
Foto: copyright (c) WWF-Indonesia/SOSharks Campaign