Aku dan suami menikah tanpa restu orang tua. Anak pertamaku di tahun-tahun awal pertumbuhannya sering sakit, sehingga aku terpaksa berhenti bekerja. Di masa-masa inilah aku mulai merasa menjadi sosok tak berguna. Aku sering menangis karena merasa pengorbanan ayah dan ibuku yang mati-matian menyekolahkanku sampai tamat kuliah, berakhir sia-sia. Harapan mereka agar kelak aku bisa membantu mereka di kampung tinggal mimpi. Nyatanya setelah tamat aku hanya menganggur. Tidak adanya dukungan dari keluarga suami juga membuatku merasa semakin tak berarti. Aku mengutuk, kenapa harus wanita yang berhenti bekerja demi mengurusi anak?
Bertahun-tahun aku hidup dalam pemikiran bahwa aku adalah pengangguran, useless. Aku juga mulai menyesali kenapa harus cepat menikah dan tidak meniti karier dulu. Keinginan untuk kembali bekerja di kantor, meski selalu membara, tetap hanya tinggal impian karena nyatanya dari tahun ke tahun pertumbuhan anakku makin membutuhkan perhatian khusus. Aku pernah melakukan kembali hobi lama, yakni menulis, tapi selalu gagal. Aku selalu merasa berada di tempat dan di waktu yang salah, sehingga rasanya tidak tepat untuk menulis. Akibatnya, hasrat menulis itu hanya tinggal hasrat.
Sampai suatu ketika aku membaca buku Helen Keller, seorang wanita yang buta, tuli, bisu, tapi bisa tamat kuliah, bahkan jadi pendidik hebat. Aku tersentak. Aku teramat sempurna dibandingkan Helen Keller, tapi apa yang sudah aku capai kecuali menyalahkan diri sendiri dan menyesali yang telah terjadi. Aku bahkan tak menghargai diriku sendiri dengan menganggap diri pengangguran yang tak berguna.
Buku itu sungguh menginspirasiku untuk mulai menulis. Aku tak lagi menjadikan apa pun sebagai alasan untuk tidak menulis. Tidak punya waktu? Aku menulis di tengah malam saat anak dan suami sudah tidur. Tidak memiliki komputer? Aku tulis di kertas dan mengetiknya di rental komputer kapan ada waktu. Aku juga tidak lagi mengagungkan pekerjaan di kantor. Aku bisa bekerja dari rumah. Aku juga bergabung dengan bisnis MLM dan usaha kecil lain yang bisa menghasilkan uang, tak peduli sekecil apa pun.
Aku mulai merasakan hidupku bergerak. Pekerjaan mengurus anak tidak lagi kurasakan sebagai kewajiban, tapi sebagai kesempatan terindah dari Tuhan.
Kini aku telah menerbitkan dua novel dan satu buku puisi, serta beberapa buku antologi bersama penulis lain. Tak hanya itu, aku juga mulai rajin mengikuti dan memenangkan berbagai lomba, baik lomba menulis, lomba foto, lomba berbagai kreativitas, serta bahkan kuis-kuis kecil, yang sebagian besar diadakan secara online. Sebagian berhasil aku menangkan hanya dengan modal menulis dan kreativitas.
Kini aku amat bangga menjadi seorang perempuan. Tapi yang paling utama, kini aku memahami bahwa untuk bisa bangga terhadap diri sendiri, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah terlebih dahulu menghargai diri sendiri. Aku kini memahami bahwa mengurus anak di rumah bukanlah menganggur, melainkan karier yang mulia bagi seorang ibu. Putriku yang duduk di kelas IV SD menulis begini:
Ibuku adalah yang paling hebat karena ibu selalu ingat kapan aku pertama kali bisa berjalan, kata apa yang pertama kali aku ucapkan. Ibu tahu apa saja yang ku makan setiap hari karena ibu selalu ada di rumah setiap hari.
Duh, bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang wanita?
Bertahun-tahun aku hidup dalam pemikiran bahwa aku adalah pengangguran, useless. Aku juga mulai menyesali kenapa harus cepat menikah dan tidak meniti karier dulu. Keinginan untuk kembali bekerja di kantor, meski selalu membara, tetap hanya tinggal impian karena nyatanya dari tahun ke tahun pertumbuhan anakku makin membutuhkan perhatian khusus. Aku pernah melakukan kembali hobi lama, yakni menulis, tapi selalu gagal. Aku selalu merasa berada di tempat dan di waktu yang salah, sehingga rasanya tidak tepat untuk menulis. Akibatnya, hasrat menulis itu hanya tinggal hasrat.
Sampai suatu ketika aku membaca buku Helen Keller, seorang wanita yang buta, tuli, bisu, tapi bisa tamat kuliah, bahkan jadi pendidik hebat. Aku tersentak. Aku teramat sempurna dibandingkan Helen Keller, tapi apa yang sudah aku capai kecuali menyalahkan diri sendiri dan menyesali yang telah terjadi. Aku bahkan tak menghargai diriku sendiri dengan menganggap diri pengangguran yang tak berguna.
Buku itu sungguh menginspirasiku untuk mulai menulis. Aku tak lagi menjadikan apa pun sebagai alasan untuk tidak menulis. Tidak punya waktu? Aku menulis di tengah malam saat anak dan suami sudah tidur. Tidak memiliki komputer? Aku tulis di kertas dan mengetiknya di rental komputer kapan ada waktu. Aku juga tidak lagi mengagungkan pekerjaan di kantor. Aku bisa bekerja dari rumah. Aku juga bergabung dengan bisnis MLM dan usaha kecil lain yang bisa menghasilkan uang, tak peduli sekecil apa pun.
Aku mulai merasakan hidupku bergerak. Pekerjaan mengurus anak tidak lagi kurasakan sebagai kewajiban, tapi sebagai kesempatan terindah dari Tuhan.
Kini aku telah menerbitkan dua novel dan satu buku puisi, serta beberapa buku antologi bersama penulis lain. Tak hanya itu, aku juga mulai rajin mengikuti dan memenangkan berbagai lomba, baik lomba menulis, lomba foto, lomba berbagai kreativitas, serta bahkan kuis-kuis kecil, yang sebagian besar diadakan secara online. Sebagian berhasil aku menangkan hanya dengan modal menulis dan kreativitas.
Kini aku amat bangga menjadi seorang perempuan. Tapi yang paling utama, kini aku memahami bahwa untuk bisa bangga terhadap diri sendiri, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah terlebih dahulu menghargai diri sendiri. Aku kini memahami bahwa mengurus anak di rumah bukanlah menganggur, melainkan karier yang mulia bagi seorang ibu. Putriku yang duduk di kelas IV SD menulis begini:
Ibuku adalah yang paling hebat karena ibu selalu ingat kapan aku pertama kali bisa berjalan, kata apa yang pertama kali aku ucapkan. Ibu tahu apa saja yang ku makan setiap hari karena ibu selalu ada di rumah setiap hari.
Duh, bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang wanita?
Vincensia Naibaho, Tangerang
Pemenang 3 Lomba Sharing Pesona "Proud of Being A Woman"
Tulisan sudah dimuat di Majalah Pesona April 2013.