Pada suatu malam yang cerah, pasangan Michelle dan Barack Obama pergi bersantap di sebuah restoran. Sesampainya di sana, pemilik restoran meminta izin pada agen rahasia yang mengawal keluarga nomor satu Amerika itu untuk berbicara dengan First Lady. Izin diberikan.
Setelah percakapan selesai, Presiden Obama yang penasaran memperoleh jawaban langsung dari istrinya. Pemilik restoran itu ternyata pacar Michelle semasa remaja. “Oh, kalau kamu menikah dengannya,” kata Presiden Obama spontan, “kamu jadi pemilik tempat cantik ini, dong.” Michelle menjawab, “No, if I had married him, he would now be the President.”
Saya terkesan sekali dengan cerita yang bulan lalu beredar di jaringan media sosial Path itu. Dari tidak tahu soal benar atau tidaknya secara faktual (penelusuran literatur membawa saya ke berbagai anekdot serupa tentang pasangan presiden AS; Hillary Clinton, Laura W. Bush, dan Barbara Bush, yang mengakhiri kisah dengan melontarkan ucapan serupa seperti Michelle) sampailah saya pada kesadaran bahwa cerita itu tidak perlu benar sebagai fakta.
Pesan utama cerita-cerita seperti di atas sama: di balik seorang pria sukses, ada wanita tangguh di belakangnya. Atau, saya lebih senang membacanya seperti ini: setiap wanita bisa menjadi apa yang dia inginkan, dan menjadikan seorang pria seperti yang diinginkannya.
Kisah rekaan istri-istri presiden AS itu bisa berganti tokoh. Tokoh itu bisa siapa saja, tapi tentu seorang wanita yang tahu kekuatan yang dimilikinya. Saya mengetahuinya. Dan saya yakin Anda juga. Bulan ini, ada baiknya kita mencamkannya terus-menerus.
Hannie Kusuma