Ketidakberdayaan perempuan untuk bertindak atas nama dirinya sendiri disebabkan karena dua faktor. Yang pertama, faktor internal, seperti karakter pribadi. Orang yang berani bertindak biasanya didasari oleh sikap asertif, yaitu kemampuan untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan, secara terbuka dan konstruktif.
“Bersikap asertif tidak berarti mau menang sendiri, melainkan melindungi diri sendiri dengan mempertimbangkan perasaan orang lain,” ujar Kristi Poerwandari, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Direktur (volunteer) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta. Memang, kemampuan asertif ini bukan persoalan gender semata. Ada juga perempuan yang tangguh dan pemberani, sebaliknya ada pula pria yang juga tidak bisa bertindak tegas.
Dalam sebuah literatur, dinyatakan bahwa kepribadian asertif adalah kepribadian yang tanggap dan peka dalam menjawab realitas kekinian. Kondisi sekarang membutuhkan perempuan yang berani bersikap lebih asertif untuk menghadapi persoalan-persoalan dalam hidupnya. Perempuan yang kurang tanggap akan mengalami kendala dalam berkompetisi.
Faktor kedua adalah pengaruh pembelajaran dari lingkungan. Menurut Livia Iskandar, psikolog dan pendiri Yayasan PULIH, perempuan memiliki banyak pagar psikologis yang ditanamkan keluarga atau lingkungannya sejak kecil, yang akhirnya membuat mereka sulit untuk berpendapat dan bertindak demi membela hak serta memperjuangkan apa yang mereka inginkan.
Maka jangan heran jika banyak perempuan yang mengalami tindak kekerasan atau pelecehan seksual (khususnya di dalam rumah tangga), enggan melaporkan kasusnya ke polisi. Jangan ke polisi, ke orang tuanya sendiri saja tak mau. Selain karena malu, mereka juga tak ingin pasangannya terjerat hukum atau dicemooh orang banyak. Kalaupun ada yang berbesar hati melapor, justru ia dipersalahkan, bukan didukung. Dan celakanya, kata Kristi, perempuan lebih banyak diatur oleh opini masyarakat. “Daripada dihakimi orang banyak, lebih baik diam dan menerima nasib,” tambahnya.
Padahal, dalam konteks KDRT, sikap diam yang semula diharapkan menjadi emas, tak jarang malah menjadi bumerang. Karena merasa selalu dimaafkan dan tidak pernah ada reaksi perlawanan dari wanita (istri), laki-laki (suami) merasa mendapat angin sehingga terus mengulangi perbuatannya. Akhirnya lagi-lagi perempuan terjebak dalam lingkaran konflik yang bisa melumpuhkan keberaniannya bertindak.