Trauma (arti harfiahnya 'benturan') adalah pengalaman yang terjadi tiba-tiba (tak terduga dan tak diharapkan) dan sangat menyakitkan atau mengecewakan, yang melebihi situasi stres yang dialami manusia sehari-hari dalam kondisi wajar. Trauma juga bisa bersifat massal, misalnya akibat bencana alam, perang, kerusuhan, atau kecelakaan massal.
Dalam kehidupan sehari-hari, mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan atau mengecewakan adalah hal biasa, malah mungkin cukup sering terjadi. Tapi rasa kecewa, terpukul, atau rasa takut bakal terulang lagi yang kita alami akibat peristiwa itu biasanya akan hilang atau berkurang dengan sendirinya seiring waktu (bersyukurlah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk melupakan!).
Namun, tidak demikian dengan trauma. Seseorang disebut mengalami trauma bila ia menunjukkan sejumlah gejala –baik fisik maupun psikologis—yang terus berlangsung meskipun peristiwa traumatis itu sudah lama berlalu. Mulai dari kehilangan selera makan (atau justru makan berlebihan), jantung berdebar-debar, pusing-pusing, menjadi lebih sensitif dan emosional (gampang tersinggung atau menangis), sulit berkonsentrasi, gampang curiga atau membenci seseorang/sesuatu), selalu ketakutan peristiwa buruk yang sama akan terulang, sulit tidur (atau malah tidur terus), hingga menarik diri dari pergaulan dan kehilangan gairah untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Ada kalanya seseorang cenderung menekan rasa traumanya hingga terpendam jauh di alam bawah sadar –di permukaan sepertinya normal-normal saja. Yang belakangan ini biasanya terjadi bila ada upaya penghindaran atau penolakan –secara sadar maupun tak sadar—dari orang yang bersangkutan untuk menghindari rasa sakit. Trauma model begini ibarat bom waktu. Bila di kemudian hari terjadi sebuah peristiwa yang sama atau mirip, maka 'monster' yang tertidur itu akan bangkit kembali dan mengobrak-abrik hidup kita. Inilah yang disebut dampak trauma jangka panjang.
“Bila trauma tidak segera diatasi, dikhawatirkan bisa berkembang menjadi gangguan kejiwaan yang lebih serius di kemudian hari, seperti histeria, fobia, hingga depresi,” ujar Angesty Putri Ageng, psikolog dari Yayasan Pulih. Yayasan yang didirikan pada 2002 ini banyak menangani kasus-kasus trauma, terutama akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual, termasuk pemerkosaan.
Tak semua pengalaman buruk berakhir sebagai trauma. Bahkan sebuah pengalaman buruk yang sama bisa berefek berbeda pada orang yang berbeda pula. Misalnya, bagi Si A, ditinggal mati suami secara mendadak membuatnya down dan menarik diri dari pergaulan. Sementara Si B, ibu rumah tangga dengan 3 anak balita, justru lebih tegar dan bangkit dengan cepat.
Mengapa bisa begitu? “Setiap orang memiliki tingkat resiliensi (daya tahan psikologis dalam menghadapi suatu masalah) yang berbeda-beda. Bisa saja masalah yang dianggap ringan bagi satu orang, terasa berat bagi yang lain. Selain itu, tiap orang punya karakteristik dan latar belakang berbeda-beda, termasuk pola asuh yang mereka terima. Intinya, kondisi psikologis setiap manusia itu sangat unik,” Anges menjelaskan.
Karena keunikan itu pula sejauh ini belum ditemukan 'imunisasi antitrauma'. Setiap orang berpotensi untuk mengalami trauma sewaktu-waktu, di usia berapa pun. “Bahkan bayi pun bisa mengalaminya,” tambah Anges. Setegar apa pun jiwa seseorang akibat tempaan hidup, pasti tetap ada celah lemah yang bisa ditembus oleh trauma.
Dalam kehidupan sehari-hari, mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan atau mengecewakan adalah hal biasa, malah mungkin cukup sering terjadi. Tapi rasa kecewa, terpukul, atau rasa takut bakal terulang lagi yang kita alami akibat peristiwa itu biasanya akan hilang atau berkurang dengan sendirinya seiring waktu (bersyukurlah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk melupakan!).
Namun, tidak demikian dengan trauma. Seseorang disebut mengalami trauma bila ia menunjukkan sejumlah gejala –baik fisik maupun psikologis—yang terus berlangsung meskipun peristiwa traumatis itu sudah lama berlalu. Mulai dari kehilangan selera makan (atau justru makan berlebihan), jantung berdebar-debar, pusing-pusing, menjadi lebih sensitif dan emosional (gampang tersinggung atau menangis), sulit berkonsentrasi, gampang curiga atau membenci seseorang/sesuatu), selalu ketakutan peristiwa buruk yang sama akan terulang, sulit tidur (atau malah tidur terus), hingga menarik diri dari pergaulan dan kehilangan gairah untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Ada kalanya seseorang cenderung menekan rasa traumanya hingga terpendam jauh di alam bawah sadar –di permukaan sepertinya normal-normal saja. Yang belakangan ini biasanya terjadi bila ada upaya penghindaran atau penolakan –secara sadar maupun tak sadar—dari orang yang bersangkutan untuk menghindari rasa sakit. Trauma model begini ibarat bom waktu. Bila di kemudian hari terjadi sebuah peristiwa yang sama atau mirip, maka 'monster' yang tertidur itu akan bangkit kembali dan mengobrak-abrik hidup kita. Inilah yang disebut dampak trauma jangka panjang.
“Bila trauma tidak segera diatasi, dikhawatirkan bisa berkembang menjadi gangguan kejiwaan yang lebih serius di kemudian hari, seperti histeria, fobia, hingga depresi,” ujar Angesty Putri Ageng, psikolog dari Yayasan Pulih. Yayasan yang didirikan pada 2002 ini banyak menangani kasus-kasus trauma, terutama akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual, termasuk pemerkosaan.
Tak semua pengalaman buruk berakhir sebagai trauma. Bahkan sebuah pengalaman buruk yang sama bisa berefek berbeda pada orang yang berbeda pula. Misalnya, bagi Si A, ditinggal mati suami secara mendadak membuatnya down dan menarik diri dari pergaulan. Sementara Si B, ibu rumah tangga dengan 3 anak balita, justru lebih tegar dan bangkit dengan cepat.
Mengapa bisa begitu? “Setiap orang memiliki tingkat resiliensi (daya tahan psikologis dalam menghadapi suatu masalah) yang berbeda-beda. Bisa saja masalah yang dianggap ringan bagi satu orang, terasa berat bagi yang lain. Selain itu, tiap orang punya karakteristik dan latar belakang berbeda-beda, termasuk pola asuh yang mereka terima. Intinya, kondisi psikologis setiap manusia itu sangat unik,” Anges menjelaskan.
Karena keunikan itu pula sejauh ini belum ditemukan 'imunisasi antitrauma'. Setiap orang berpotensi untuk mengalami trauma sewaktu-waktu, di usia berapa pun. “Bahkan bayi pun bisa mengalaminya,” tambah Anges. Setegar apa pun jiwa seseorang akibat tempaan hidup, pasti tetap ada celah lemah yang bisa ditembus oleh trauma.
(bersambung ke Mengobati Trauma dalam Hidup [2])