Punya ‘dendam’ masa lalu yang belum terpenuhi? Hal-hal kecil pun bisa kita lakukan untuk melepaskan diri dari jeratan masa lalu dan menjelma jadi ‘manusia baru’. Agar hidup kembali menggairahkan.
Setelah puluhan tahun menjalani hidup dan meniti karier serta rumah tangga dari nol hingga mencapai titik tertentu, tiba-tiba Anda dilanda kebosanan dan kejenuhan menghadapi kehidupan, seperti yang dialami Elizabeth Gilbert dalam bukunya Eat, Pray, Love? Seolah semua pencapaian yang telah kita raih menjadi tidak berarti lagi. Kita pun jadi seperti kehilangan arah, terserang rasa kesepian dan frustrasi berkepanjangan, dan akhirnya terperosok dalam depresi, namun tak tahu harus melakukan apa untuk keluar dari situasi tidak nyaman itu.
Mungkin yang terjadi pada Anda tidak seekstrem yang terjadi pada Gilbert. Barangkali Anda hanya sekadar merasa stuck – tubuh seolah melekat kuat pada sesuatu sehingga sulit digerakkan. Bosan bekerja, bosan melihat tampang para bos, bosan menikah (tepatnya bosan pada suami!), bosan pada kota tempat tinggal Anda, dan lain sebagainya. Alhasil, Anda jadi kehilangan gairah untuk menjalani hidup, bahkan mulai ketakutan menghadapi hari esok. ‘Ruang kosong’ yang minta diisi.
Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma Depok, mengatakan, sebuah masalah yang dialami manusia biasanya tidak berdiri sendiri atau tahu-tahu muncul begitu saja, melainkan pasti ada ‘sejarah’ atau sebab-akibat sebelumnya.
Teori Developmental Stages (Tahap Perkembangan) dari Erik Erikson, mengatakan, perkembangan kejiwaan manusia terbagi dalam beberapa tahap, mulai dari tahap bayi, remaja, hingga dewasa. Dan di setiap tahapan kita diharapkan – oleh lingkungan sekitar — untuk dapat meraih pencapaian-pencapaian tertentu. Sayangnya, tak semua tahapan berhasil kita lewati dengan mulus. Pasti ada tahapan di mana kita merasa kecewa atau gagal mencapai target.
Misalnya, karena terlalu sibuk belajar ketika menjadi mahasiswa, Anda tak sempat menikmati pergaulan dengan teman-teman sebaya. Atau, karena terlalu sibuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan anak-anak, Anda tak kunjung sempat menunaikan ibadah haji atau memenuhi kebutuhan spiritual lainnya. Atau, karena terlalu giat bekerja dan mengejar karier, Anda belum juga mendapatkan jodoh sampai usia di atas kepala 4.
“Selama ini kita mungkin masih bisa mengompensasikan ‘kegagalan-kegagalan’ itu dalam berbagai bentuk. Misalnya dengan cara mengejar karier sampai puncak atau menimbun harta sampai segunung. Namun, tanpa disadari hal itu meninggalkan ‘ruang kosong’ di dalam jiwa kita. Dan seiring waktu, biasanya ketika kita mulai memasuki tahapan dewasa menengah (usia 35 - 55/65 tahun) atau dewasa akhir (55/65 tahun – meninggal), tak mustahil ruang kosong itu akan ‘berteriak’ minta ‘diisi’ atau diberi makna. Dan kalau ruang kosong itu tidak segera diisi, pada saat itulah kita mulai dilanda kejenuhan atau kekosongan dalam hidup,” Ira menjelaskan.
Setelah puluhan tahun menjalani hidup dan meniti karier serta rumah tangga dari nol hingga mencapai titik tertentu, tiba-tiba Anda dilanda kebosanan dan kejenuhan menghadapi kehidupan, seperti yang dialami Elizabeth Gilbert dalam bukunya Eat, Pray, Love? Seolah semua pencapaian yang telah kita raih menjadi tidak berarti lagi. Kita pun jadi seperti kehilangan arah, terserang rasa kesepian dan frustrasi berkepanjangan, dan akhirnya terperosok dalam depresi, namun tak tahu harus melakukan apa untuk keluar dari situasi tidak nyaman itu.
Mungkin yang terjadi pada Anda tidak seekstrem yang terjadi pada Gilbert. Barangkali Anda hanya sekadar merasa stuck – tubuh seolah melekat kuat pada sesuatu sehingga sulit digerakkan. Bosan bekerja, bosan melihat tampang para bos, bosan menikah (tepatnya bosan pada suami!), bosan pada kota tempat tinggal Anda, dan lain sebagainya. Alhasil, Anda jadi kehilangan gairah untuk menjalani hidup, bahkan mulai ketakutan menghadapi hari esok. ‘Ruang kosong’ yang minta diisi.
Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma Depok, mengatakan, sebuah masalah yang dialami manusia biasanya tidak berdiri sendiri atau tahu-tahu muncul begitu saja, melainkan pasti ada ‘sejarah’ atau sebab-akibat sebelumnya.
Teori Developmental Stages (Tahap Perkembangan) dari Erik Erikson, mengatakan, perkembangan kejiwaan manusia terbagi dalam beberapa tahap, mulai dari tahap bayi, remaja, hingga dewasa. Dan di setiap tahapan kita diharapkan – oleh lingkungan sekitar — untuk dapat meraih pencapaian-pencapaian tertentu. Sayangnya, tak semua tahapan berhasil kita lewati dengan mulus. Pasti ada tahapan di mana kita merasa kecewa atau gagal mencapai target.
Misalnya, karena terlalu sibuk belajar ketika menjadi mahasiswa, Anda tak sempat menikmati pergaulan dengan teman-teman sebaya. Atau, karena terlalu sibuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan anak-anak, Anda tak kunjung sempat menunaikan ibadah haji atau memenuhi kebutuhan spiritual lainnya. Atau, karena terlalu giat bekerja dan mengejar karier, Anda belum juga mendapatkan jodoh sampai usia di atas kepala 4.
“Selama ini kita mungkin masih bisa mengompensasikan ‘kegagalan-kegagalan’ itu dalam berbagai bentuk. Misalnya dengan cara mengejar karier sampai puncak atau menimbun harta sampai segunung. Namun, tanpa disadari hal itu meninggalkan ‘ruang kosong’ di dalam jiwa kita. Dan seiring waktu, biasanya ketika kita mulai memasuki tahapan dewasa menengah (usia 35 - 55/65 tahun) atau dewasa akhir (55/65 tahun – meninggal), tak mustahil ruang kosong itu akan ‘berteriak’ minta ‘diisi’ atau diberi makna. Dan kalau ruang kosong itu tidak segera diisi, pada saat itulah kita mulai dilanda kejenuhan atau kekosongan dalam hidup,” Ira menjelaskan.
(Bersambung)