Seorang wanita menuliskan status di akun jejaring sosialnya, mengabarkan bahwa anak pertamanya telah hadir melengkapi keluarganya. Ucapan selamat dari sanak saudara dan teman-teman pun datang bertubi-tubi. Di antara puluhan kata-kata bahagia tersebut, muncul satu ucapan menarik dari seorang teman wanita, “Selamat ya, kamu sekarang sudah menjadi wanita seutuhnya.”
Kata-kata itu sering sekali kita dengar, sehingga menjadi lazim di telinga kita para wanita dan juga pria. Namun sesungguhnya kalimat tersebut mengundang puluhan pertanyaan lanjutan. Mengapa wanita yang sudah melahirkan dikatakan sebagai wanita yang utuh? Apakah wanita yang tidak pernah melahirkan berarti dianggap tidak utuh?
Menjawab pertanyaan ini, Kristi mengatakan wanita harus belajar melihat dirinya sebagai subjek utama. “Wanita adalah manusia utuh yang lebih dari sekadar tubuh dan berperan sebagai pendamping,” ujar Kristi Wulandari, psikolog klinis dari Universitas Indonesia yang juga aktif di LBH Apik. Identitas seorang wanita adalah sebagai individu, bukan kepanjangan atau ekstensi dari orang lain. Wanita tidak selalu harus dilekatkan ke sosok lain untuk menjadi lengkap. Justru identitas-identitas lain, seperti nyonya siapa atau anak siapa, yang merupakan identitas sekunder.
Kristi lebih lanjut menyarankan agar wanita sebaiknya jangan terlalu evaluatif terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan peran-peran sekunder tersebut. Yang justru lebih diperlukan adalah sifat kritis. “You have to be happy and you have to learn to be happy. Apa pun kondisinya; punya pacar, punya suami, atau memilih tetap lajang, perempuan harus tetap menjadi dirinya sendiri dan nyaman dengan kondisi itu.” Dengan keyakinan tersebut Kristi percaya bahwa wanita seperti itu nantinya akan bisa mendidik anak-anak perempuannya dengan persepsi baru, sebagai subjek. Jika gagal melakukannya, dia hanya akan meneruskan peran-peran sekunder ke anak-anak perempuannya.
Namun ada kalanya sikap tidak solider di antara sesama perempuan juga berasal dari ketidakmampuan berempati pada kesulitan orang lain. Dalam hal ini yang perlu ditumbuhkan adalah kemampuan untuk berempati. Ketika ada perempuan yang mengalami kesulitan atau ketidakadilan dari orang lain, sebaiknya kita jangan bersikap apatis, apalagi ikut-ikutan menyalahkan. Kalapun kita tidak bisa membantu, setidaknya janganlah menambah masalah dengan ikut menghujat atau memojokkan sesama perempuan yang kebetulan sedang bernasib buruk. Karena bisa saja suatu saat nanti nasib yang sama menimpa diri kita.
Kata-kata itu sering sekali kita dengar, sehingga menjadi lazim di telinga kita para wanita dan juga pria. Namun sesungguhnya kalimat tersebut mengundang puluhan pertanyaan lanjutan. Mengapa wanita yang sudah melahirkan dikatakan sebagai wanita yang utuh? Apakah wanita yang tidak pernah melahirkan berarti dianggap tidak utuh?
Menjawab pertanyaan ini, Kristi mengatakan wanita harus belajar melihat dirinya sebagai subjek utama. “Wanita adalah manusia utuh yang lebih dari sekadar tubuh dan berperan sebagai pendamping,” ujar Kristi Wulandari, psikolog klinis dari Universitas Indonesia yang juga aktif di LBH Apik. Identitas seorang wanita adalah sebagai individu, bukan kepanjangan atau ekstensi dari orang lain. Wanita tidak selalu harus dilekatkan ke sosok lain untuk menjadi lengkap. Justru identitas-identitas lain, seperti nyonya siapa atau anak siapa, yang merupakan identitas sekunder.
Kristi lebih lanjut menyarankan agar wanita sebaiknya jangan terlalu evaluatif terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan peran-peran sekunder tersebut. Yang justru lebih diperlukan adalah sifat kritis. “You have to be happy and you have to learn to be happy. Apa pun kondisinya; punya pacar, punya suami, atau memilih tetap lajang, perempuan harus tetap menjadi dirinya sendiri dan nyaman dengan kondisi itu.” Dengan keyakinan tersebut Kristi percaya bahwa wanita seperti itu nantinya akan bisa mendidik anak-anak perempuannya dengan persepsi baru, sebagai subjek. Jika gagal melakukannya, dia hanya akan meneruskan peran-peran sekunder ke anak-anak perempuannya.
Namun ada kalanya sikap tidak solider di antara sesama perempuan juga berasal dari ketidakmampuan berempati pada kesulitan orang lain. Dalam hal ini yang perlu ditumbuhkan adalah kemampuan untuk berempati. Ketika ada perempuan yang mengalami kesulitan atau ketidakadilan dari orang lain, sebaiknya kita jangan bersikap apatis, apalagi ikut-ikutan menyalahkan. Kalapun kita tidak bisa membantu, setidaknya janganlah menambah masalah dengan ikut menghujat atau memojokkan sesama perempuan yang kebetulan sedang bernasib buruk. Karena bisa saja suatu saat nanti nasib yang sama menimpa diri kita.
Nofi Firman